Sabtu, 18 Oktober 2014

Flares.

 (me, Kinan, Rurin, Wida, Ayin, Vera, Disty, Titi, Alif)


(Taken at Warung Sangrai, 11st October, 2014)

"Did you see the sparks filled with hope? You are not alone, cause someone's out there sending out flares..."
- The Script

Congraduation, Dina Riana S.Kom!

 (Putri, Citra, Senya, Dina, me)




(Taken at Celebrate Cafe, 27th September, 2014)


" You are graduating from college. That means that this is the first day of the last day of your life. No, that's wrong. This is the last day of the first day of school. Nope, that's worse. This is a day"
- Andy Samberg

#MovieCorner #22: Dracula Untold

Warning! Spoiler alert!

So, ready to walk the history?

Jika mendengar kata Dracula, hal yang melintas di benak pasti sosok makhluk horor dengan taring panjang dan tajam, yang gemar memangsa manusia dengan cara menghisap darahnya hingga habis layaknya vampire. Tokoh Dracula ini menjadi booming karena ‘dihidupkan’ oleh seorang penulis asal Irlandia, Bram Stoker, pada tahun 1897. Hingga kini, karyanya telah banyak diadaptasi ke berbagai media seperti film, permainan teater, hingga video game. Nah, darimanakah sebenarnya inspirasi sosok Dracula sebenarnya? Film franchise terbaru keluaran Universal berikut akan menceritakan asal-muasal sosok Dracula dalam bentuk fiksinya, yang berjudul Dracula Untold.


Tak banyak terkait dengan cerita rekaan Stoker, Dracula Untold ini lebih menceritakan tentang asal mula mengapa sosok Dracula, yang semula adalah manusia biasa, berubah menjadi sosok peminum darah dan juga makhluk abadi. Berawal dari Vlad (Luke Evans), seorang prajurit perang Turki yang terkenal karena ditakuti akan ciri khas kekejamannya dalam membunuh tentara musuh dengan cara disula, yang kemudian menjadi seorang pangeran muda Transylvania. Kerajaannya diharuskan tunduk pada Kerajaan Turki dengan cara taat membayar upeti dan melakukan apa yang diperintah oleh Raja Turki, Sultah Mehmed (Dominic Cooper). Suatu hari, utusan dari Turki memintanya untuk mengirim 1000 orang anak untuk dijadikan tentara Turki, termasuk putra semata wayangnya, Ingeras (Art Parkinson). Dalam kebingungan, ia lalu menemukan jalan dengan meminta kekuatan dari Master Vampire (Charles Dance) untuk menyelamatkan putranya, istrinya Mirena (Sarah Gadon), dan kerajaannya dari tindasan Kerajaan Turki, namun ia harus membayarnya dengan kutukan seumur hidup.


Film yang disutradarai oleh Gary Shore ini cukup banyak mendapat respon negatif dari para kritikus dan pe-review film sejak hari pertama kali ditayangkan di USA, and it makes Dracula Untold only gets 6.1 (though it is still counting). Kebanyakan para kritikus menilai film ini dari sisi historis, yang dianggap out of the line. I totally disagree, because basically it is a fiction film, right? Secara kasar, Shore berhak untuk menentukan sejarah yang ia yakini untuk film yang ia buat, dan jelas ia tak membuat filmnya untuk keperluan National Geographic, anyway. Besides, from what I’ve read, the historical aspects are close enough; the outline is about Vlad, yang dibelokkan menjadi sesosok manusia vampir (though the real Vlad ‘the Impaler’ is actually not a vampire). Oke, tolong abaikan penjelasan mengenai sejarah di atas dan mari kembalikan visi utama mengapa film ini dibuat, yakni untuk keperluan hiburan semata dari Hollywood.


Well, dari segi cerita, film ini cukup menghibur, meskipun terkesan agak terburu-buru dalam menyajikan klimaks di awal hingga pertengahan cerita. Vlad seakan di-setting untuk selalu terburu-buru dalam bertindak dan menentukan sikap. Hal ini cukup kontras dengan akhir film yang dirasa agak ‘diulur’, dengan keadaan seakan melambat. Namun begitu, cerita yang berusaha disampaikan cukup eksplisit dan kentara terlihat. It’s clearly seen from the action-reaction, dialogue, situation, and many others.



Dalam hal visualisasi dan efek, film ini boleh juga, apalagi dalam hal adaptasi ke sekitar pertengahan tahun 1400-an. Dracula Untold has great costumes and properties! Hole justru ditemukan di beberapa spot visual effect yang kurang sesuai dan pas dengan keadaan, atau malah dirasa kurang mumpuni; misalnya pada saat adegan perang, yang seharusnya bisa dibuat lebih ‘greget’ dan panjang, namun hanya disajikan singkat dan terkesan mudah. Mungkin karena waktu filmnya juga yang hanya berdurasi sekitar 90 menit-an, sehingga apa yang disajikan dirasa kurang maksimal. But, you won’t be dissapointed with the gothic; dapet banget!



Karakterisasi, I admit that everyone did their roles quite good, terutama untuk pemeran utama yang berperan sebagai kunci dari ‘ketajaman’ sebuah film. Kurangnya hanya sedikit saja di bagian pengembangan karakter, dan itu terjadi karena kurangnya kesempatan untuk membuatnya sedikit lebih complicated dengan penambahan durasi film, just to make good chracter development.

Overall, I think Dracula Untold is such a good media to walk on the history in a different yet entertaining way and taste. At least we know that Vlad was exist in that age.


Rate: 7.5/10

Dracula Untold
Action – Drama - Fantasy
92 minutes

Director              : Gery Shore
Production Co  : Universal Pictures, Legendary Pictures
Released              : 10th October 2014 (Indonesia)

Information and picture sources:

Sabtu, 11 Oktober 2014

#MovieCorner #21: Annabelle

Warning! Spoiler alert!

The first terror in this fall, who’s in?

Siapa yang tak tahu film horror-thriller yang rilis tahun lalu, berjudul The Conjuring? Diadaptasi dari kisah nyata, film yang mengisahkan tentang teror sebuah boneka yang dirasuki oleh setan dan menghantui sebuah keluarga ini memang cukup sukses mengguncang hampir seluruh dunia. Tak heran, rating-nya di website film terkemuka IMDb bisa mencapai angka 7.5, sebuah angka yang dinilai cukup tinggi. Melihat angka tersebut, rumah produksi yang menggarap film tersebut kemudian memenuhi keinginan para fans dengan membuat film franchise yang judulnya diambil dari nama boneka horor tersebut, Annabelle.


Annabelle sendiri bercerita tentang asal usul boneka berhantu dari film The Conjuring. Dikisahkan bahwa pada awal tahun 1970, terdapat sepasang suami-istri dimana sang istri, Mia (Annabelle Wallis) sedang dalam kondisi hamil tua, dan sang suami, John (Ward Horton), memberinya sebuah hadiah berupa boneka klasik, karena Mia senang mengoleksi boneka macam tersebut, dan terlebih lagi Mia telah mencari boneka tersebut sejak lama. Malam harinya, terjadi insiden pembunuhan tetangga mereka oleh anak kandungnya sendiri, yang bernama Annabelle Higgins. Selain membunuh kedua orangtuanya, Annabelle, dan juga kekasihnya, juga ingin membunuh Mia dan John, dengan alasan mereka adalah anggota sekte pemuja setan yang harus membunuh untuk tujuan pengorbanan pada iblis. Tujuan Annabelle dan kekasihnya tak terlaksana karena mereka akhirnya ditembak di tempat oleh polisi yang datang ke tempat kejadian. Darah dari Annabelle menetes ke boneka yang baru di hadiahi oleh John, dan sejak itu boneka tersebut meneror John, Mia, juga Leah, putri mereka yang baru lahir.


Diarahkan oleh John R. Leonetti, Annabelle nampaknya tak cukup memuaskan dahaga penonton akan suasana horror-thriller yang tersaji disana, terutama bagi para fans The Conjuring. Terbukti, dari skor yang diperoleh, film ini hanya mampu mencapai angka 6.1 saja, cukup jauh dengan rating yang diperoleh The Conjuring.

Begun from the story, film ini dirasa cukup lambat, baik dalam hal penyuguhan story twist, dan juga dalam hal menyajikan sajian horror yang apik. Berbeda dengan The Conjuring yang ketegangannya dirasa cukup intens dengan suasana horror yang seakan tak berhenti seketika, Annabelle ini justru kebalikannya. Suasana tegang hanya disuguhkan di beberapa momen tertentu tanpa memberikan efek berkepanjangan. Hal tersebut ditambah dengan ending yang kurang ‘greget’, and it made me questioningThat’s all?’. Namun, untuk hal momen mengejutkan, Annabelle juga patut mendapat pujian. Kehadiran sosok teror disana beberapa kali memang tak disangka-sangka, and I give it a thumb.


Secara visual dan sinematografi, Annabelle memiliki kekurangan di sisi dark tone, sehingga menimbulkan kesan kurang seram. Entah karena beberapa scene dilakukan di ruang terbuka, I feel like it is not horror at all. Tak hanya itu, di beberapa situasi dalam rumah (karena sebagian besar adegan memang berada di dalam rumah), kadang terang-gelap juga dirasa kurang diperhitungkan sehingga beberapa suasana masih terlihat terlalu terang untuk sebuah film bernuansa horor yang (seharusnya) menonjolkan kesan gothic.


Dan, soal karakterisasi, unfortunately Annabelle Wallis didn’t make it. Sorry to say, tapi akting Wallis, yang berperan sebagai Mia, dan notebane memiliki peranan besar di film tersebut, cukup payah di beberapa scene. I saw Wallis as the woman who act like she was affraid, not as a woman who was affraid, and it is such a pitty. Peran Evelyn di film tersebut juga masih terlalu muda untuk ukuran seorang ibu yang seharusnya memiliki anak seusia Mia, I was thinking about Oprah who fit to the role, hehe.

Well, it such a bad execution of a great expectation, sorry (again) to say.


Rate: 6/10

Annabelle
Horror - Thriller
98 minutes

Director              : John R. Leonetti
Production Co  : New Line Cinema, Evergreen Media Group
Released              : 3rd October 2014 (Indonesia)

Information and picture sources:

Jumat, 10 Oktober 2014

Menjadi Bebas. (2)

Well, menjadi bebas?
Okay, I'll update my previous writing about this.

Jadi, bebas adalah? Ya, bebas adalah kebebasan itu sendiri.
Menjadi bebas memang sesuatu yang relatif, sama halnya dengan cantik, dengan tampan, dengan sholeh sekalipun.
Tapi kita mungkin bisa mengambil satu garis merah tentang makna dari bebas.
Bahwa bebas adalah tidak melulu tak terikat. Bahwa kebebasan, tidak semata-mata kita-dapat-melakukan-apapun-semau-kita. Bahwa bebas adalah bukan hal hakiki, karena, ya itu tadi, relatif.

Dan menurut gue, bebas adalah saat hati berkata bahwa gue bebas, nggak peduli saat itu gue lagi terkungkung dalam sebuah aturan sosial, atau dalam ke-tak terhingga-an norma masyarakat sekalipun.
Bebas adalah saat hati kita merasa kita bebas, bukan saat otak merasa bahwa kita bebas.

Sekian.

Kamis, 09 Oktober 2014

Menjadi Bebas.

Free.
What is the most possible thing that comes in your head when you hear that single word?
So many. Yes, it will be so many possibilities, I guess.

Free. Freedom.
That's the most absurd thing, at least for me.

Being free is never be real.
Even birds, which fly freely, aren't free at all. They don't have mind to think free. That make them unfree.

And we, people. We don't have, even a single chance, to be free.
Because we life. We need. We choose. We start something. We end other thing. Even our heart have their own rules.

Yes, free is relative; can be subjective. But it also can be objective, right?
We play possible-impossible, and when our mind think about impossible things, that's also the limit of our freedom are shown. Again, we can't be free.





Sorry to make you read my random thought. Just wondering why are human's thought are so complicated.

#FoodSpot #28: The Dream’s Cake

Evening, people of Bandung!

Kalo ada yang lagi cari-cari dessert unik yang sangat menghibur, berarti lu sedang membaca review yang benar. Congratulation! (pardon my lebay-ness) :p

Well, you have to come to a dessert place named The Dream’s Cake. Toko yang dulunya hanya terkenal dengan produk jarcake dan cheesecake dengan rasa yang bervariasi dan asli-enak-banget-nggak-pake-boong ini sekarang merambah ke bisnis dessert lain. Berkolaborasi dengan I Mochi You, The Dream’s Cake menciptakan menu dessert bernama Cococi, yang memakai mochi sebagai komponen utamanya. And this Cococi, is the one that I recommend to you.


Kami, my bestie and I, memilih toko cabang yang terletak di Trunojoyo, karena emang kebetulan lagi di daerah situ, dan tempatnya emang lebih strategis karena ada di tengah kota. Tokonya sih nggak besar, tapi lumayan enjoyable for dessert-ing kok. Bisa pilih tempat yang adem ber-AC di dalam, atau ber-angin-gelebug di luar, hehe. Untungnya begitu kesana tempatnya nggak sedang ramai, jadi kami bisa langsung pesan apa yang kami inginkan disana.


(Pardon my bestie's face. Btw, namanya Ayin, doi lagi cari jodoh, hehe)

Basically, Cococi ini adalah sajian mochi yang di tempatkan di dalam wadah unik, yaitu batok kelapa, yang disajikan dengan variasi topping yang bisa dipilih sesuai selera. Mochinya sendiri terdiri dari rasa Green Tea, Nutella, Red Velvet, Cookies and Cream, dan Durian, sedangkan pilihan rasa es krimnya ada rasa Red Velvet, Cookies and Cream, Green Tea, dan Vanilla. Selain itu juga ada dua topping lain yang bisa lu pilih, antara Strawberry, Pocky, Kit Kat Green Tea, Slices Almond, Edameme nuts, Kit Kat Chocolate, Longan, Chacha, Toblerone, Kiwi, Peach, dan Nata de Coco. 

Gue memilih mochi Nutella, ice cream Cookies and Cream, dengan topping Kit Kat Green Tea dan Longan. Sementara kakak satu lagi memilih (if I’m not mistaken) mochi Red Velvet, es krim Green Tea, ditambah Chacha dengan satu lagi gue lupa, maaf hehe.


After about under 10 minutes, our desserts were ready. They were just good in presentation! Ketje banget, karena menggugah selera untuk segera memakannya. Jadi si mochinya di letakkan di dalam batok kelapa muda. Daging kelapanya nggak dibuang, tapi ikut disajikan dengan mochi di dalamnya, berikut air kelapanya pun disajikan dalam gelas kecil yang cute banget. Ditambahkan dengan topping yang sudah dipesan tadi yang membuat kelapanya jadi terisi penuh. It was just perfect! And those combination made a perfect taste, alias enak banget. Creamy-nya mochi Nutella dan ice cream ditambah dengan segernya longan dan kelapa dan ada kriuk dari Kit Kat Green Tea dan serealnya juga, belum lagi air kelapa yang emang jadi penyeimbang para manis-manis dalam mangkok.


Overall, dessert dari The Dream’s Cake ini cocok banget lu lu yang pengen dessert manis dan seger tapi jauh dari kata eneg. Have a try! J

I rate 8.0/10 for The Dream’s Cake.

Check this out to see the information about this spot:
Twitter           : @Thedreamscake
Website          : The Dream’s Cake
Location         : Jalan BKR No. 22, Bandung (pusat), Jalan Trunojoyo No. 23, Bandung (cabang)
Phone             : 022-730 4301 | 081 286 250 907

Kamis, 02 Oktober 2014

#FoodSpot #27: Warunk Upnormal

Hello again, people!

Pengen nongkrong sambil makan Indomie dengan suasana beda? Atau nge-roti bakar tapi yang rasanya nggak standar? Berarti lu harus main-main ke Warung Upnormal.


Jangan terkecoh dengan namanya yang memakai kata ‘warung’, Warung Upnormal ini sebenarnya adalah tempat makan dengan konsep kafe, dan baru grand-opening cabang bulan September kemarin. Kafenya sendiri terletak di jalan Cihampelas, setelah perempatan flyover Pasupati dan sebelum Bakso Semar. Meskipun tergolong baru, kafe ini selalu ramai dengan para mahasiswa sebagai pengunjung kebanyakannya. Ketauan banget kalo gitu bahwa range harga makanan dan minuman disini tergolong relatif murah.




Menggunakan tagline ‘Makan Indomie dengan suasana Starbucks’, kafe ini memang mengusung merk mie terkenal seantero Indonesia, Indomie, sebagai main course, yang disuguhkan dengan berbagai pilihan topping, seperti telur, kornet, sosis, keju, hingga kikil. Bagi yang nggak mau makan mie, jangan khawatir, karena ada juga pilihan makanan lain seperti roti bakar berbagai rasa, juga aneka cemilan. Ada juga banyak pilihan rasa untuk susu yang disajikan disana, juga pilihan minuman lain yang juga nggak kalah seger.


Pilihan kami jatuh pada Indomie Sadis Mampus (sebenernya pesennya yang Sadis Manis sih, tapi yang dateng ini, ya udah sikat aja), kemudian Roti Susu Green Tea yang udah lama bikin penasaran. Susu Tiramisu dan Ice Sirsak Upnormal jadi pilihan untuk teman makanan yang udah dipesan tadi. Nggak lama kami nunggu, roti green tea-nya udah dateng aja, disusul dengan dua minuman yang udah dipesen. Sementara Indomie-nya dateng belakangan dan agak lama, mungkin karena banyak yang pesen kali ya.

Time to execute! Roti susu green tea-nya adalah roti bakar biasa, yang ditaburi dengan green tea powder dan susu kental manis. Karena gue lumayan suka green tea dan suka manis juga, ya roti green tea-nya enak-enak aja sih, cuma karena kelamaan di diemin jadi kurang ‘greget’ aja karena kurang anget. Indomie-nya sih biasa, rasa Indomie, yang jelas nggak pernah mengecewakan, hehe. Yang bikin ngiler sih tampilan telurnya karena disajikan setengah matang, dan ada tambahan smoked beef-nya gitu. Pokoknya Indomie itu selalu ngebuat dari yang tadinya nggak laper jadi laper deh. :p



The drinks, susu tiramisu, adalah susu dengan rasa tiramisu. Enak! Walaupun gue agak sedikit nyesel juga kenapa nggak pesen kopi aja biar rasanya nggak manis-ketemu-manis, tapi susu ini cocok juga kok disandingkan dengan roti bagi yang cinta manis. Untuk es sirsaknya, ekspektasi gue sih bakal pake sirsak asli gitu, tapi ternyata engga dan cuma pakai rasa sirsaknya doang. Tapi rasanya tetep enak dan sirsak banget kok.



Secara keseluruhan, Warunk Upnormal ini cocok banget untuk nongkrong-nongkrong sambil ‘ngemil’ Indomie, roti atau untuk sekedar nyusu-nyusu. Silahkan dicoba. J

I rate 8.3/10 for Warunk Upnormal.

Check this out to see the information about this food spot:
Twitter           : @Warunk_Upnormal
Location         : Jalan Cihampelas No. 74 (sebelum bakso Semar), Bandung
Phone             : +62 821-1918-0201

#FoodSpot #26: Lacamera Coffee

Morning, Bandung!

Nongkrong asyik nggak mesti nunggu weekend doang kan? Nah, siapa tau siang ini berencana makan di luar bareng temen-temen kerja, atau mau ngopi-rumpi sore-sore dengan temen-temen lama, I have a chic spot for you to try.

Berawal dari abis nonton di Braga dan kemudian laper berat tapi nggak pengen nyari tongkrongan yang terlalu jauh ke tengah kota, akhirnya browsing-lah tempat makan atau kafe sekitaran sana yang oke (padahal sekitaran Braga udah banyak banget tempat nongkrong asyik, cuma alesan aja pengen sekalian keluar, hehe). Kemudian ingat salah satu kafe yang pernah dikunjungi teman beberapa waktu sebelumnya, yang gue liat dari fotonya sih lumayan keren juga. Dan yang pasti, letaknya nggak terlalu jauh dari Braga sana, and there we go.


Namanya Lacamera Coffee. Letaknya sebenernya di tengah kota sih, tapi nggak tengah kota banget kayak di jalan Riau. Lacamera ini terletak di jalan Naripan. Kalo dateng dari arah jalan Sumatera, ambil jalan Naripan yang ke sebelah kiri, persis sejajaran dengan Be Mall Bandung.


Datang sekitaran jam setengah 8 malam, kafenya masih belum terlalu ramai. Masih cukup banyak meja kosong yang bebas untuk dipilih. Kafenya cukup luas, dengan interior bernuansa ‘kopi abis’ yang lumayan keren. Bikin betah deh untuk dipakai dinner sambil berlama-lama ngobrol dan menghabiskan waktu bareng temen-temen disana. Kalo berencana dateng pas weekend, gue saranin untuk datang sekitar jam makan malem (6 or 7 p.m.) supaya masih bisa bebas milih tempat duduk, karena di atas jam 8 Lacamera mulai ramai dan penuh.




Untuk menunya sendiri, jelas Lacamera yang memakai titel ‘Kopi’ di ujung namanya ini mengusung minuman kopi sebagai main speciality. Belakangan gue tau bahwa Lacamera terkenal dengan latte art di kopinya. Sayang karena telat tau, terus lagi nggak begitu pengen kopi juga, kami memutuskan memesan cold beverages lainnya yang nggak kalah menarik, yaitu ice chocolate dan something-related-to-lychee-in-it (apologize for forgetting the name, hehe). Sementara untuk urusan main course-nya, kami memutuskan untuk memesan satu makanan asin dan satu makanan manis, yaitu pasta (yang juga gue lupa namanya) dan Green Tea Waffle.

(Pict. source: www.lacameracoffee.com)

Sekitar 10 hingga 20 menit foods and beverages yang kami pesan satu persatu sampai di meja. I thank God karena makanan dan minuman yang kami pesan sesuai ekspektasi, alias enak banget! (ini penilaian subjektif banget karena menurut gue kategori makanan dan minuman itu hanya ada dua; enak dan enak banget, hehe).


Karena gue suka pasta pedas yang dimasak setengah mateng, pasta-Lacamera yang-gue-lupa-namanya ini sukses mendapat predikat enak banget. Terus, pedesnya juga bukan dari saus sambal, melainkan dari rawit merah yang membuat pedesnya jadi ‘pedes seger’ (?). Untuk wafflenya, kalo biasanya waffle green tea hanya berupa waffle biasa dengan tambahan es krim green tea, atau green tea powder sebagai topping-nya, this Lacamera green tea waffle is kinda green tea factory, soalnya adonan wafflenya juga dicampur dengan green tea powder sehingga warnanya juga jadi hijau. Nggak hanya itu, waffle ini dilengkapi dengan topping green tea ice cream, vanilla and green tea sauce, and nuts. Mood-booster banget untuk mereka pecinta waffle sekaligus green tea.



The beverages,  ice chocolate dan something-related-to-lychee-in-it, sukses jadi pelengkap yang manis dari makanan yang udah dipesen tadi. The ice choco-nya bukan hanya bubuk coklat yang di-blend gitu aja, melainkan coklat yang manisnya pas dan creamy abis. The lychee one juga nggak mengecewakan, seger banget karena pakai lychee asli, bukan cuma rasanya doang.


Overall, Lacamera Coffe is such a worth place to go. Harus dicoba sendiri untuk membuktikan kesubjektifan tulisan di atas, nggak rugi. Selamat mencoba, anyway. J

I rate 9/10 for Lacamera Coffe.

Check this out to see the information about this place:
Website                      : Lacamera Coffee
Facebook                   : Lacamera Coffee
Instagram & Twitter : @LacameraCoffee
Location                     : Jalan Naripan No. 79, Bandung
Phone                         : (022) 421-0200