Minggu, 18 Agustus 2013

...


Rangga. Sebaris nama itu yang aku lihat di lengan kiri kemeja biru tua yang ia kenakan pagi ini. Kemeja yang sudah familiar di ingatanku sejak kira-kira dua tahun lalu, itu kemeja angkatan jurusannya. Aku hafal betul si pemiliknya mengenakan kemeja itu sekali seminggu. Harinya tidak tetap, pokoknya sekali seminggu. Berdiri disana, dekat dengan jok supir, selalu disana setiap pagi. Dan aku menatapnya dari sini. Tak pernah secara langsung, namun melalui pantulan bayangannya di jendela bus yang sedang aku naiki ini. Bus ini menuju ke kampusku, juga ke kampusnya.

Sesekali ia membenarkan letak kacamata berbingkai kotak hitamnya itu. Ia pintar, terlihat dari tatapan matanya yang serius dan selalu melihat ke depan. Setiap pagi selama dua tahun ini kami selalu dalam satu bus yang sama, namun tak pernah aku berani menegurnya. Lagipula siapa aku ini, mungkin ia pun tak pernah menyadari keberadaanku disini.

Hanya Rangga dan tingkah misteriusnya yang aku tahu. Hanya itu. Namun aku tak pernah berhenti  mengaguminya dari sini, tempat duduk sebelah kiri baris kelima.

Dia, yang menatap matanya saja aku tak sanggup, yang hanya mampu kuperhatikan gerak-geriknya lewat pantulan di jendela bus setiap paginya. Dia, yang hanya sanggup kucintai diam-diam.

***

Namanya Pelangi. Aku pernah mendengar temannya memanggil dengan nama itu. Nama yang indah, seindah paras dan tingkah lakunya yang anggun. Disitulah ia pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, duduk di baris kelima dekat dengan jendela. Dan disini lah aku, berdiri agak dekat dengan jok supir, seperti pagi-pagi sebelumnya. Bus ini sedang melaju dan akan membawa kami ke tempat tujuan yang sama, kampus.

Dua tahun, ya, jika hitunganku tak salah aku sudah dua tahun ini memperhatikannya, sejak melihatnya pertama kali di bus ini, di semester pertama aku mulai kuliah. Hanya Pelangi dan penampilannya yang sederhana, hanya itu yang aku tahu dari gadis di belakangku itu. Namun hatiku selalu berdesir setiap kali melihatnya, meskipun hanya lewat kaca spion depan.

Tak pernah sekalipun aku berkesempatan untuk menatap langsung matanya. Tak pernah ada keberanian muncul untuk sekali menyapanya. Yang sanggup aku lakukan hanyalah menatapnya sesekali lewat kaca spion itu, memperhatikannya yang selalu asik menatap keluar jendela. Pemandangan sama setiap harinya, yang berubah hanya kemacetan yang kian lama kian buruk saja, namun ia tetap asik menatap kesana.

Dia, gadis yang bahkan matanya saja tak sanggup ku tatap, yang hanya mampu kuperhatikan dari bayangannya di kaca spion depan. Dia, pelangi pagiku, yang hanya sanggup kucintai diam-diam.



Aulia Angesti
Bandung, August 19th, 2013. 00:00

Kamis, 15 Agustus 2013

Big City or Small Town

Mudik lebaran kemarin membawa beberapa pikiran iseng di benak gue. Perjalanan dengan melewati jalur Selatan pulau Jawa dari Bandung hingga Madiun itu brought me to the assumption:

"Bahwa masyarakat di kota-kota kecil atau pedesaan mungkin bisa lebih produktid dibandingkan dengan masyarakat di kota-kota besar."

Produktif disini adalah masyarakat tersebut akan lebih fokus untuk mengerjakan banyak hal dibandingkan dengan masyarakat kota besar.

Why? Karena sedikitnya disturbance yang ditimbulkan di kota kecil atau desa.
Contohnya: Saya sebagai mahasiswa yang berdomisili di Bandung kadang merasa sering mengabaikan tugas kuliah demi menonton film-film terbaru, atau tergiur membuka linimasa Twitter yang notebane tidak pernah memakan sedikit waktu. Selalu keasyikan dan lupa waktu.

Faktor disturbance tersebut ya karena akses hiburan di Bandung lebih mudah ketimbang kota-kota kecil atau bahkan pedesaan yang kadang untuk mencari sinyal provider saja harus mengacung-acungkan handphone.

Sebenarnya, masyarakat di kota kecil dan pedesaan mestinya bisa lebih produktif karena gangguan-gangguan seperti itu akan jarang terjadi.

Bagaimana menurut Anda?


Rabu, 14 Agustus 2013

Generasi

I D E A L I S

I    D    E    A   L   I   S

i D E A L i s

I
D
E
A
L
I
S

Idealis, generasi idealis.



Aulia Angesti
Bandung, August 14, 2013. 21:44 p.m.

Naskah

Ada yang mengganjal hatiku ketika aku berjalan di salah satu jalan protokol di kota kembang ini. Entah mengapa pula aku memutuskan berjalan. Sehabis makan siang di warung soto pinggiran dekat kantor tadi aku memutuskan tak langsung pulang ke rumah.
Matahari tak menunjukkan taringnya siang ini, ia hanya menyeringai. Namun di tempatku berjalan ini teduh, rangkaian pepohonan tak berhenti sejauh mata memandang. Lumayan lah, jalanan ini sejuk dibandingkan jalan-jalan lain seperti jalan Gatot Subroto, atau bahkan jalan Soekarno Hatta yang tergolong gersang.
Berniat memutari beberapa blok di jalanan ini saja, lagipula sudah lama aku tak memiliki waktu senggang dan sendiri seperti ini. Kerjaan di kantor akhir-akhir ini semakin menggila saja. Aku pun turut menjadi korban dari kegila-gilaan tersebut untuk beberapa minggu, sebelum akhirnya atasan marah atas kegilaanku kemudian aku dipecat siang tadi. Disinilah aku setelah itu, siapa tahu pikiranku bisa tenang dengan menikmati udara yang lumayan ramah ini.
Heran juga Bandung bisa sesepi ini, hanya beberapa mobil yang lewat di menit-menit terakhir. Padahal jalanan ini merupakan jalanan yang termasuk ramai, bahkan bisa sampai macet jika weekend datang. Tentu saja plat-plat luar kota jauh lebih banyak mendominasi, hingga penduduknya sendiri merasa malas untuk berjalan-jalan di Bandung di hari-hari libur tersebut. Syukurlah ini bukan weekend dan aku bisa leluasa menikmati suasana ini.
Lelah berjalan kemudian berhenti di warung pinggiran, memesan air mineral botolan kepada ibu pemilik warung dan duduk di kursi kayu seadanya yang sudah disediakan. Tanganku merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalamnya, melihatnya sebentar dan terdiam. Kertas-kertas ini lah yang membuatku dipecat siang tadi, laporan bidang yang tak sesuai dengan laporan perusahaan.
Semenjak menjabat beberapa minggu lalu, atasan baru di kantor tempatku bekerja sudah memecat tiga orang, termasuk aku. Ia tak puas dengan kinerja kami, katanya. Sejak awal ia masuk pun sudah membawa hawa tak enak. Galak, juga tak berperasaan terhadap pegawainya. Wanita yang ingin terlihat perfeksionis. Aku maklum, ia putri satu-satunya dari si pemilik perusahaan, wajar jika ia seenak jidat dalam memimpin. Lagipula aku sudah tak tahan, dalam seminggu ini aku sudah kena marah empat kali, dari lima hari kerja.
Sering aku mengutuknya, namun sekarang aku lebih mengutuk hidupku sendiri. Ibu sakit dan sedang sendirian di rumah, pasti akan sangat kecewa jika tahu putri satu-satunya dipecat dari kerjaan. Aku menghela napas panjang. Paham betul bahwa keadaanku sekarang sedang tidak dalam zona nyaman. Uang tabunganku saja hampir habis, untuk biaya berobat ibu yang tak kunjung sembuh. Sekarang kertas-kertas di tanganku ini tak lagi berguna selain menjadi kipas untuk mengurangi keringat setelah lelah berjalan tadi.
“Cari alamat ya, neng?” kata ibu pemilik warung tiba-tiba, mengagetkanku.
“Ngg...engga kok bu, kenapa memang?” balasku.
“Oh, ibu kira cari alamat. Biasanya kalau lihat-lihat kertas gitu lagi cari alamat. Lagian neng sendirian aja kayak yang bingung,” jawab si ibu sambil terkekeh.
“Ngga kok bu, ini kertas sudah tak terpakai jadi saya bingung untuk apa. Saya jadiin kipas aja deh bu, lumayan. Hehe,” balasku sekenanya.
“Kuliah, neng?” tanya si ibu, sambil menyuapi anak perempuannya yang ingusan.
“Engga bu, udah kerja. Tapi baru aja dipecat, biasa lah bu atasannya galak,” jawabku, kemudian ucapan-ucapan curhatanku selanjutnya tentang pekerjaanku meluncur begitu saja dari mulutku. Aku juga tak paham mengapa aku bisa bercerita kepada ibu separuh baya yang tak ku kenal dan bahkan namanya saja aku tak tahu. Mungkin terbawa suasana.
“Ya namanya juga hidup ya neng, kadang di atas, kadang di bawah. Seperti roda. Neng sekarang ini sedang di bawah, mungkin. Asal jangan seperti ibu saja, di bawah melulu. Hehe,” ujar si ibu usai mendengarkanku, kembali terkekeh. Ibu ini nampak santai sekali menanggapiku.
“Ya hidup itu ya kaya kertas itu ya neng, namanya apa ya, nas... naskah ya kalau ibu engga salah. Naskah itu ada yang tulis, Tuhan neng. Minta saja sama Tuhan menuliskan yang baik-baik untuk hidup neng. Tuhan mah engga bakal ngasih ujian yang engga bisa dilalui sama hamba-Nya. Neng punya Tuhan kan?”
Aku tertegun. Tuhan, rasanya sudah lama aku putus akses dengan Tuhan. Namun pelan-pelan aku mengangguk. Ibu itu kemudian pamit pergi sebentar, mau ke mesjid untuk menunaikan sholat Ashar katanya. Matahari masih menyeringai, dan kalimat “Neng punya Tuhan, kan?” itu seakan terus bergaung di sekelilingku. Tak disangka-sangka, ucapan wanita separuh baya yang mungkin saja tak sekolah itu bisa menohok hati sebegitu dalamnya.
Angin berhembus sepoi-sepoi memainkan rambut sebahuku. Sejuk sampai ke hati. Tanpa sadar aku mengikuti langkah ibu yang sudah jauh di depan itu, menuju mesjid. Maaf Tuhan, aku bukannya tak tahu malu, namun aku ingin Engkau menulis yang baik-baik dalam naskahku.

Aulia Angesti
Bandung, August 14, 2013. 10:10 a.m.