Kamis, 26 Desember 2013

Koran Pagi


Tak ada orang yang suka menunggu. Begitulah kesimpulan yang aku ambil secara dangkal ketika melihat orang-orang dengan ketus meninggalkan tempat duduk mereka karena yang mereka tunggu tak segera datang. Aku pun tak suka menunggu. Namun aku disini lebih senang memperhatikan keketusan orang-orang satu demi satu yang mulai meninggalkan halte karena bus kota tak kunjung menampakkan dirinya. Raut muka masam serta umpatan-umpatan pelan yang mereka lontarkan menggelitik hatiku.

Jarum langsing yang berputar di tanganku sudah menunjuk angka enam, berarti sudah hampir dua puluh menit aku duduk menunggu disini. Bus yang ditunggu tak juga datang, sementara orang-orang lebih memilih pergi dan mencari taksi atau angkutan umum lain demi mengefektifkan waktu yang tak banyak mereka punya.

Jalanan mulai terasa ramai. Suara klakson sedikit-sedikit terdengar dari berbagai penjuru arah. Orang-orang tak sabaran yang juga mengejar waktu hendak menuju sekolah atau tempat kerja. Lampu merah di perempatan jalan juga sudah beralih dari yang hanya berkedip-kedip dengan lampu kuningnya, berfungsi sebagaimana mestinya dengan warna merah, kuning dan hijau secara bergantian.

Kuputuskan untuk beranjak sebentar membeli coklat panas di kedai ujung jalan, lalu mengobrol sebentar dengan kakek baik hati si penjaga kedai. Sebelas tahun berjualan, tak pernah sekalipun ia gagal meracik coklatnya. Kental dan manisnya pas. Aku berpamitan padanya sehabis dia menambahkan satu sendok krim kopi pada coklatku. Untuk menambahkan rasa gurih, katanya.

Aku kembali pada tempat dudukku di halte. Tak banya orang yang duduk disana, kebanyakan meninggalkan halte dengan raut muka ditekuk. Bus belum juga datang padahal waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit. Aku kembali menikmati jalanan yang sudah padat dengan sabar.

Beberapa menit berlalu, di kejauhan tampak seorang laki-laki berjalan mendekat. Tangan kirinya digunakan untuk membawa tumpukan koran, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah koran terkenal, seraya mulutnya yang tak henti menawarkannya pada orang-orang yang ia lewati. Kulitnya hitam manis. Pakaiannya lusuh namun bersih, tak lupa topi krem yang tak pernah lupa ia kenakan setiap hari.

Senyumku terkembang ketika ia menghampiri seraya duduk di sebelahku. Ia memberikan koran yang biasa aku baca, kemudian aku memberinya selembar uang lima ribuan. Kami lalu larut dalam perbincangan tentang berita dan informasi dari koran yang ia jual hari ini. Terlepas dari penjual koran, ia adalah kecerdasan nyata yang menelusup masuk memenuhi rongga udara logika yang berputar di pikiranku. Aku merasa tercerahi.

Sepuluh menit kemudian ia pamit untuk melanjutkan menjual korannya yang masih banyak. Aku hanya mengangguk melepasnya pergi. Tak lama bus kota datang. Orang-orang di halte langsung berebut masuk supaya mereka dapat tempat di dalam, sementara aku tak beranjak dari tempatku duduk. Kondektur bus segera menutup pintu karena tahu aku tak akan naik bus itu, bahkan ia mungkin sudah puluhan kali menawariku naik dan aku hanya menggeleng sebagai balasan.

Dan selalu, di setiap pagiku, bukan bus kota yang aku tunggu.



Aulia Angesti
Thursday, December 26, 2013. 09:44

Minggu, 03 November 2013

Sipil vs. Teknik Sipil

Hari Sabtu kemarin, lagi enak-enaknya makan di salah satu tempat bakso Malang favorit, tiba-tiba bang Adit nanya gini:

"Arti 'sipil' itu sebenarnya apa sih?"

Aku kemudian dengan percaya diri menjawab, "Sipil itu ya... yang berhubungan dengan kependudukan. 'Kan sering ,tuh, denger kata 'penduduk sipil'. Pokoknya yang bukan dari bidang kemiliteran deh, pasti disebutnya sipil."

Kemudian dia melanjutkan begini:

"Terus kalau jurusan teknik sipil, gimana tuh? Kan sipil berkenaan dengan kependudukan, nah teknik sipil kan malah berhubungan dengan konstruksi bangunan lah, ngecor dan lain-lain..."

Kemudian aku nge-iya-in. Iya juga ya, kenapa teknik sipil jadinya malah ke konstruksi bangunan dan lain sebagainya.
Penasaran, akhirnya hari ini googling lah tentang sipil, and what I found was:

First, according to KBBI, sipil masih berkenaan dengan kependudukan:
si·pil a berkenaan dng penduduk atau rakyat (bukan militer): bupati terpilih adalah orang -- , bukan TNI




And second, about 'teknik'. Still, from KBBI, its answer of 'teknik' is:
tek·nik /téknik/ n 1 pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yg berkenaan dng hasil industri (bangunan, mesin): sekolah --; ahli --; 2 cara (kepandaian dsb) membuat atau melakukan sesuatu yg berhubungan dng seni; 3 metode atau sistem mengerjakan sesuatu; -- alpin teknik menuruni tebing dng menggunakan baut dan gantungan tempat menyangkutkan tali; -- kateterisasi Dok cara pengobatan dng menggunakan kateter; -- kimia listrik lapangan teknik pemanfaatan listrik sbg sumber energi pd bidang elektrokimia; -- listrik energi lapangan teknik (meliputi perencanaan, pembuatan, penyelenggaraan) mesin, alat, dan instalasi untuk membangkitkan, mengubah, atau menghantarkan arus listrik; -- nontes teknik pengukuran yg tidak menggunakan tes observasi; -- penelitian penjabaran metode penelitian; sistem atau metode penelitian dng meneliti langsung objeknya; -- proyeksi teknik penelitian yg menggunakan pengamatan jiwa responden melalui apa yg dinyatakan responden dl pencerminan dirinya, msl dl tingkah laku, minat, atau gambar; -- tes teknik pengukuran dng menggunakan tes






Nah, dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa benar adanya sipil adalah hal yang berhubungan dengan kependudukan. Sipil dalam frasa ‘teknik sipil’ juga masih berarti sama, yang membedakan adalah adanya kata teknik. Maksudnya pada teknik sipil, dalam opini saya, adalah teknik yang berhubungan dengan kependudukan juga, seperti konstruksi bangunan, jalan, dan lain sebagainya.

Is that answer your question, Dit? :)




Aulia Angesti
Bandung, November, 3rd 2013. 11.00.

Minggu, 27 Oktober 2013

Apa yang Aku Punya Selain Diam

Apa yang aku punya selain diam?
Diam, mengisyaratkan ribuan makna tentang paham
Diam, dimana geram tak tergerak untuk menghantam

Aku, dan alam diamku.

Alam diam yang tidak pernah berasa asam
Alam diam, segala bentuk jeram yang karam, tergenggam
Ya, alam diam yang keram tanpa mencengkram

Ini waktu, bukan, jam diam, aku merasa punya diam
Jam yang tak pernah mengecam
Diam, memikirkan kejam yang haram
Diam dalam-dalam, diam yang kadang mengancam, kejam?

Diam, ilham? Belum tentu, itu mungkin haram
Ini seperti sakit demam, banyak awam yang muram, hendak padam?

Ini malam, kembali pada diam
Ini bersandar pada paham, diam bukan berarti memendam
Diam ini seperti kolam hitam legam, namun tak padam
Ia hanya kusam

Kamu paham? Aku dan diam.

Aulia Angesti
Bandung, July 20, 2012. 8.57 p.m.

Minggu, 29 September 2013

Senja Tengah Kota

Sore ini begitu teduh, tipikal sore-sore di musim tanggung antara musim kemarau dan penghujan. Aku termenung. Bukan tanpa pikiran, melainkan dengan khusyuk mendengarkan pria di depanku berbicara. Seorang teman sebaya. Sudah sekitar dua jam ini kami duduk disebuah kafe di tengah kota, sama-sama menghabiskan sore hingga petang datang. Sekedar mengobrol ringan dan berbagi cerita satu sama lain. Awalnya aku datang sendiri kemari, dia pun begitu. Lama-lama kami sama-sama penasaran dan akhirnya berkenalan. Seringkali kami janjian datang ke tempat ini, seminggu dua atau tiga kali. Kemudian kami jadi ketergantungan, jika ia tidak bisa datang, maka aku pun memutuskan untuk tidak datang, begitupun sebaliknya.

Lambat laun aktivitas bertemu dengannya adalah candu bagiku. Aku selalu jadi tak sabar untuk bertemu dengannya. Menurutku ia menarik, namun dari pembicaraannya selama ini tak banyak orang yang tahu itu. Wawasannya luas, mungkin aku sudah tidak memerlukan Google lagi untuk mencari tahu banyak hal ketika mengobrol dengannya.

Seperti hari ini, ia duduk di depanku, bercerita tentang film adaptasi novel terbaru yang sedang booming. Aku suka film, sama dengannya. Namun ia tak pernah mengajakku untuk nonton film bersama. Aku? Mana berani mengajaknya pergi berdua saja. Aku lebih suka menghabiskan waktu disini, bersama senja dan pria hitam manis di depanku ini.

Senja di tengah kota sama saja bagiku sebelumnya. Tidak ada yang merubahnya menjadi manis ketika kemudian senja itu melabuhkan seorang anak manusia untuk menguntai kata-kata dan menghabiskan bercangkir-cangkir kopi disini. Sering kudengar orang-orang begitu mengagungkan senja, entah senja yang muncul setiap menjelang petang atau senja yang mereka ciptakan sendiri. Senja yang selalu mengikat siang dan menjadikannya gelap. Namun yang aku temukan di matanya itu bukan senja yang seperti itu, melainkan senja yang tak memiliki ufuk Barat. Senja yang dengan bias-bias kemerahannya mampu menarik awan menjadi berarak, yang mampu menyihir angin menjadi sepoi dan mempermainkan layang-layang. Kamu, senja di tengah kotaku.

 to the one and only. You know what I mean.

Aulia Angesti
Bandung, September 29th, 2013. 00:05

Minggu, 18 Agustus 2013

...


Rangga. Sebaris nama itu yang aku lihat di lengan kiri kemeja biru tua yang ia kenakan pagi ini. Kemeja yang sudah familiar di ingatanku sejak kira-kira dua tahun lalu, itu kemeja angkatan jurusannya. Aku hafal betul si pemiliknya mengenakan kemeja itu sekali seminggu. Harinya tidak tetap, pokoknya sekali seminggu. Berdiri disana, dekat dengan jok supir, selalu disana setiap pagi. Dan aku menatapnya dari sini. Tak pernah secara langsung, namun melalui pantulan bayangannya di jendela bus yang sedang aku naiki ini. Bus ini menuju ke kampusku, juga ke kampusnya.

Sesekali ia membenarkan letak kacamata berbingkai kotak hitamnya itu. Ia pintar, terlihat dari tatapan matanya yang serius dan selalu melihat ke depan. Setiap pagi selama dua tahun ini kami selalu dalam satu bus yang sama, namun tak pernah aku berani menegurnya. Lagipula siapa aku ini, mungkin ia pun tak pernah menyadari keberadaanku disini.

Hanya Rangga dan tingkah misteriusnya yang aku tahu. Hanya itu. Namun aku tak pernah berhenti  mengaguminya dari sini, tempat duduk sebelah kiri baris kelima.

Dia, yang menatap matanya saja aku tak sanggup, yang hanya mampu kuperhatikan gerak-geriknya lewat pantulan di jendela bus setiap paginya. Dia, yang hanya sanggup kucintai diam-diam.

***

Namanya Pelangi. Aku pernah mendengar temannya memanggil dengan nama itu. Nama yang indah, seindah paras dan tingkah lakunya yang anggun. Disitulah ia pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, duduk di baris kelima dekat dengan jendela. Dan disini lah aku, berdiri agak dekat dengan jok supir, seperti pagi-pagi sebelumnya. Bus ini sedang melaju dan akan membawa kami ke tempat tujuan yang sama, kampus.

Dua tahun, ya, jika hitunganku tak salah aku sudah dua tahun ini memperhatikannya, sejak melihatnya pertama kali di bus ini, di semester pertama aku mulai kuliah. Hanya Pelangi dan penampilannya yang sederhana, hanya itu yang aku tahu dari gadis di belakangku itu. Namun hatiku selalu berdesir setiap kali melihatnya, meskipun hanya lewat kaca spion depan.

Tak pernah sekalipun aku berkesempatan untuk menatap langsung matanya. Tak pernah ada keberanian muncul untuk sekali menyapanya. Yang sanggup aku lakukan hanyalah menatapnya sesekali lewat kaca spion itu, memperhatikannya yang selalu asik menatap keluar jendela. Pemandangan sama setiap harinya, yang berubah hanya kemacetan yang kian lama kian buruk saja, namun ia tetap asik menatap kesana.

Dia, gadis yang bahkan matanya saja tak sanggup ku tatap, yang hanya mampu kuperhatikan dari bayangannya di kaca spion depan. Dia, pelangi pagiku, yang hanya sanggup kucintai diam-diam.



Aulia Angesti
Bandung, August 19th, 2013. 00:00

Kamis, 15 Agustus 2013

Big City or Small Town

Mudik lebaran kemarin membawa beberapa pikiran iseng di benak gue. Perjalanan dengan melewati jalur Selatan pulau Jawa dari Bandung hingga Madiun itu brought me to the assumption:

"Bahwa masyarakat di kota-kota kecil atau pedesaan mungkin bisa lebih produktid dibandingkan dengan masyarakat di kota-kota besar."

Produktif disini adalah masyarakat tersebut akan lebih fokus untuk mengerjakan banyak hal dibandingkan dengan masyarakat kota besar.

Why? Karena sedikitnya disturbance yang ditimbulkan di kota kecil atau desa.
Contohnya: Saya sebagai mahasiswa yang berdomisili di Bandung kadang merasa sering mengabaikan tugas kuliah demi menonton film-film terbaru, atau tergiur membuka linimasa Twitter yang notebane tidak pernah memakan sedikit waktu. Selalu keasyikan dan lupa waktu.

Faktor disturbance tersebut ya karena akses hiburan di Bandung lebih mudah ketimbang kota-kota kecil atau bahkan pedesaan yang kadang untuk mencari sinyal provider saja harus mengacung-acungkan handphone.

Sebenarnya, masyarakat di kota kecil dan pedesaan mestinya bisa lebih produktif karena gangguan-gangguan seperti itu akan jarang terjadi.

Bagaimana menurut Anda?


Rabu, 14 Agustus 2013

Generasi

I D E A L I S

I    D    E    A   L   I   S

i D E A L i s

I
D
E
A
L
I
S

Idealis, generasi idealis.



Aulia Angesti
Bandung, August 14, 2013. 21:44 p.m.

Naskah

Ada yang mengganjal hatiku ketika aku berjalan di salah satu jalan protokol di kota kembang ini. Entah mengapa pula aku memutuskan berjalan. Sehabis makan siang di warung soto pinggiran dekat kantor tadi aku memutuskan tak langsung pulang ke rumah.
Matahari tak menunjukkan taringnya siang ini, ia hanya menyeringai. Namun di tempatku berjalan ini teduh, rangkaian pepohonan tak berhenti sejauh mata memandang. Lumayan lah, jalanan ini sejuk dibandingkan jalan-jalan lain seperti jalan Gatot Subroto, atau bahkan jalan Soekarno Hatta yang tergolong gersang.
Berniat memutari beberapa blok di jalanan ini saja, lagipula sudah lama aku tak memiliki waktu senggang dan sendiri seperti ini. Kerjaan di kantor akhir-akhir ini semakin menggila saja. Aku pun turut menjadi korban dari kegila-gilaan tersebut untuk beberapa minggu, sebelum akhirnya atasan marah atas kegilaanku kemudian aku dipecat siang tadi. Disinilah aku setelah itu, siapa tahu pikiranku bisa tenang dengan menikmati udara yang lumayan ramah ini.
Heran juga Bandung bisa sesepi ini, hanya beberapa mobil yang lewat di menit-menit terakhir. Padahal jalanan ini merupakan jalanan yang termasuk ramai, bahkan bisa sampai macet jika weekend datang. Tentu saja plat-plat luar kota jauh lebih banyak mendominasi, hingga penduduknya sendiri merasa malas untuk berjalan-jalan di Bandung di hari-hari libur tersebut. Syukurlah ini bukan weekend dan aku bisa leluasa menikmati suasana ini.
Lelah berjalan kemudian berhenti di warung pinggiran, memesan air mineral botolan kepada ibu pemilik warung dan duduk di kursi kayu seadanya yang sudah disediakan. Tanganku merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalamnya, melihatnya sebentar dan terdiam. Kertas-kertas ini lah yang membuatku dipecat siang tadi, laporan bidang yang tak sesuai dengan laporan perusahaan.
Semenjak menjabat beberapa minggu lalu, atasan baru di kantor tempatku bekerja sudah memecat tiga orang, termasuk aku. Ia tak puas dengan kinerja kami, katanya. Sejak awal ia masuk pun sudah membawa hawa tak enak. Galak, juga tak berperasaan terhadap pegawainya. Wanita yang ingin terlihat perfeksionis. Aku maklum, ia putri satu-satunya dari si pemilik perusahaan, wajar jika ia seenak jidat dalam memimpin. Lagipula aku sudah tak tahan, dalam seminggu ini aku sudah kena marah empat kali, dari lima hari kerja.
Sering aku mengutuknya, namun sekarang aku lebih mengutuk hidupku sendiri. Ibu sakit dan sedang sendirian di rumah, pasti akan sangat kecewa jika tahu putri satu-satunya dipecat dari kerjaan. Aku menghela napas panjang. Paham betul bahwa keadaanku sekarang sedang tidak dalam zona nyaman. Uang tabunganku saja hampir habis, untuk biaya berobat ibu yang tak kunjung sembuh. Sekarang kertas-kertas di tanganku ini tak lagi berguna selain menjadi kipas untuk mengurangi keringat setelah lelah berjalan tadi.
“Cari alamat ya, neng?” kata ibu pemilik warung tiba-tiba, mengagetkanku.
“Ngg...engga kok bu, kenapa memang?” balasku.
“Oh, ibu kira cari alamat. Biasanya kalau lihat-lihat kertas gitu lagi cari alamat. Lagian neng sendirian aja kayak yang bingung,” jawab si ibu sambil terkekeh.
“Ngga kok bu, ini kertas sudah tak terpakai jadi saya bingung untuk apa. Saya jadiin kipas aja deh bu, lumayan. Hehe,” balasku sekenanya.
“Kuliah, neng?” tanya si ibu, sambil menyuapi anak perempuannya yang ingusan.
“Engga bu, udah kerja. Tapi baru aja dipecat, biasa lah bu atasannya galak,” jawabku, kemudian ucapan-ucapan curhatanku selanjutnya tentang pekerjaanku meluncur begitu saja dari mulutku. Aku juga tak paham mengapa aku bisa bercerita kepada ibu separuh baya yang tak ku kenal dan bahkan namanya saja aku tak tahu. Mungkin terbawa suasana.
“Ya namanya juga hidup ya neng, kadang di atas, kadang di bawah. Seperti roda. Neng sekarang ini sedang di bawah, mungkin. Asal jangan seperti ibu saja, di bawah melulu. Hehe,” ujar si ibu usai mendengarkanku, kembali terkekeh. Ibu ini nampak santai sekali menanggapiku.
“Ya hidup itu ya kaya kertas itu ya neng, namanya apa ya, nas... naskah ya kalau ibu engga salah. Naskah itu ada yang tulis, Tuhan neng. Minta saja sama Tuhan menuliskan yang baik-baik untuk hidup neng. Tuhan mah engga bakal ngasih ujian yang engga bisa dilalui sama hamba-Nya. Neng punya Tuhan kan?”
Aku tertegun. Tuhan, rasanya sudah lama aku putus akses dengan Tuhan. Namun pelan-pelan aku mengangguk. Ibu itu kemudian pamit pergi sebentar, mau ke mesjid untuk menunaikan sholat Ashar katanya. Matahari masih menyeringai, dan kalimat “Neng punya Tuhan, kan?” itu seakan terus bergaung di sekelilingku. Tak disangka-sangka, ucapan wanita separuh baya yang mungkin saja tak sekolah itu bisa menohok hati sebegitu dalamnya.
Angin berhembus sepoi-sepoi memainkan rambut sebahuku. Sejuk sampai ke hati. Tanpa sadar aku mengikuti langkah ibu yang sudah jauh di depan itu, menuju mesjid. Maaf Tuhan, aku bukannya tak tahu malu, namun aku ingin Engkau menulis yang baik-baik dalam naskahku.

Aulia Angesti
Bandung, August 14, 2013. 10:10 a.m.

Jumat, 21 Juni 2013

#MovieCorner #1: Man of Steel (2013)

Spoiler alert! Jadi untuk yang belum nonton dan ngga mau tau dulu ceritanya, mending jangan dibaca.




Siapa, sih, yang ngga kenal Superman? Superhero yang sudah muncul dari puluhan tahun yang lalu dan telah melibatkan beberapa aktor tampan untuk memerankannya. Sebut saja Kirk Alyn yang mulai memerankannya dari tahun 1940-an, hingga Brandon Routh.  

Musim panas ini, kembali hadir di bioskop tokoh super yang satu ini. Dengan judul Man of Steel, sang sutradara Zack Snyder berhasil membawa era baru untuk Superman. Di tangannya pula lah, Man of Steel dirasa berhasil untuk mengobati seri Superman sebelumnya, Superman Returns (directed by Brian Singer), yang dianggap gagal. Mengapa gagal? Karena peran Superman yang dimainkan oleh Brandon Routh menjadi boomerang. Routh dianggap terlalu mirip dengan Christopher Reeve (pemeran Superman: The Movie hingga Superman IV) yang kemudian menimbulkan image bahwa film mereka berkesinambungan.

Kembali pada Man of Steel, produser brilian Christopher Nolan juga turut andil dalam pembuatannya, karena itu kesan gelap dan dramatis sangat terasa kuat, seperti dalam The Dark Knight Rises dan Inception. Nolan juga membuat detail Man of Steel sangat kuat.

Snyder membuat penonton melupakan seluruh seri Superman sebelumnya, karena Man of Steel dirancang berbeda. Film ini diawali dengan setting di Planet Krypton yang sedang menghadapi kehancurannya. Adalah Jor-El, yang menentang takdir hidup Krypton's people yang ditentukan oleh penguasa, bukan oleh diri mereka masing-masing sebelum mereka lahir. Sebelum planetnya hancur, ia dan istrinya mengirim anaknya, Kal-El, ke bumi untuk menemukan takdir besar yang akan dihadapinya .Jendral Zod, yang kontra dengan Jor-El menentangnya habis-habisan. Ia berambisi untuk tetap menjalankan takdir orang-orang Krypton dan akhirnya membunuh Jor-El. Jendral Zod dan pasukannya kemudian diasingkan.

Kal-El yang berhasil diluncurkan kemudian sampai di bumi dan dibesarkan oleh orang tua angkatnya di Kansas. Diberi nama Clark Kent, ia hidup dengan kekuatan super yang tidak dimiliki oleh orang-orang bumi yang membuatnya dikucilkan. Ayah angkatnya melarang untuk menggunakan kekuatannya hingga kemudian sang ayah meninggal karena tornado. Ayahnya berulang kali mengingatkan bahwa Clark dikirim ke bumi pasti dengan suatu alasan, dan Clark bertahun-tahun menjelajah untuk mencari alasan tersebut. Setelah ia dewasa, alasan pengirimannya ke bumi terungkap satu demi satu. Kemunculan Jendral Zod yang berhasil melarikan diri karena kehancuran planetnya juga menjadikannya sebagai musuh utama yang dihadapi oleh Clark. Dengan begitu bisa disimpulkan bahwa Snyder menciptakan sejarah untuk Superman, by  mengangkat cerita darimana dan bagaimana Superman bisa ada di bumi. Dengan kata lain, itu adalah permulaan dari Superman.

Film berdurasi 143 menit ini mampu menyihir penonton untuk terus menonton dari awal hingga akhir. Ceritanya yang apik membuat penonton tidak merasa bosan. Tak hanya itu, yang paling patut dikagumi habis-habisan adalah visual effect dan sound yang membuat penonton mungkin menahan nafas karena Snyder membuat penonton seperti terlibat dalam adegan pertarungan disana (akan lebih terasa jika ditonton dengan format 3D). Man of Steel dirasa menempati posisi terdepan, apalagi saat ini keuntungan yang diraup telah mencapai angka $117M (versi IMDb.com), jauh keuntungannya dengan posisi kedua yang ditempati oleh This Is The End yang hanya meraup keuntungan sebesar $20.7M saja.

Tak hanya itu, ulah Snyder yang lain adalah merekonstruksi kostum Superman sehingga tak lagi terlihat tampilan celana-dalam-di-luar seperti versi-versi Superman sebelumnya. Itu membuat Superman terlihat lebih gagah dan berkharisma. Henry Cavill, yang sebelumnya akan memerankan Edward Cullen di Twilight Saga, juga memerankan Superman dengan sangat baik. Tidak sia-sia usahanya memperbaiki postur badan dan latihan berbulan-bulan karena penonton akan puas dengan penampilannya yang tak hanya menjual tampang, namun juga keahliannya dalam berakting di layar lebar dan membuat Snyder puas. Sosok Lois Lane yang diperankan oleh Amy Adams juga tak kalah mengesankannya. Ia berhasil membangun karakter Lane yang cerdas dan ambisius untuk mendapatkan berita, serta pembawaannya dengan sosok Clark Kent juga patut diacungi jempol. Peran Jor-El yang diperankan oleh Russel Crowe cukup baik. Crowe membuat Jor-El mendapatkan kharismanya sebagai seorang ayah dari Kal-El dan juga kepala keluarga. Ia bertanggung jawab sepenuhnya untuk masa depan anaknya dan apa yang akan dihadapinya kelak, dan Crowe berhasil membangun image sosok tersebut.

Secara keseluruhan, penilaian untuk Man of Steel sendiri termasuk predikat 'incredibly awesome' karena ini pertama kalinya visual effect seperti itu muncul di layar lebar (bahkan The Avengers yang notebane melibatkan lima superhero itu pun jauh kualitasnya), CMIIW. Jadi jika bingung akan menonton apa untuk weekend ini, Man of Steel adalah pilihan yang sangat tepat.


Rate: 9/10

P.S.: Sekuel Man of Steel telah dipersiapkan, semoga jauh lebih hebat dari Man of Steel saat ini.

Man of Steel
143 minutes
Action - Adventure - Fantasy

Director: Zack Snyder
Writer: David S. Goyer
Producer: Christopher Nolan
Warner Brothers



Sabtu, 15 Juni 2013

New Chapter

Apa, sih, yang kamu pikirkan ketika kamu bangun tidur pagi ini?
List kegiatan seharian penuh yang padat? Tugas yang belum sempat dikerjakan? Beberapa orang yang akan kamu temui hari ini dengan segala urusannya?
Mungkin juga beberapa pikiran lain yang tenang-tenang saja karena ia tak mesti mengerjakan rutinitas-rutinitas sibuk yang mungkin menyita waktu dan tenaga.

Beberapa pikiran itu mungkin menggumam, jenuh rasanya untuk menghadapi apa yang ia harus hadapi, atau bahkan jenuh karena ia tak memiliki apapun untuk dihadapi. Jenuh,  hal yang  tercipta apabila kita sudah terlalu sering melakukan suatu hal yang sama, suatu hal yang kita sendiri sudah hafal karakteristiknya.

Beberapa orang bertahan, karena ia tahu pada awalnya ia sangat menginginkan hal yang ia jalani sekarang. Apa yang ada di benaknya hanya bagaimana cara ia bertahan dan terus menjalani dengan senang hati.
Namun kebanyakan orang mengeluh. Tak sedikit dari mereka yang mengumpat sana-sini, mencari cara agar ia mendapatkan rutinitas yang baru dan tidak membosankan, dan banyak lagi.

Banyak dari mereka yang tidak menyadari, bahwa apa yang mereka jalani adalah hal yang baru di setiap harinya. Mereka melakukan rutinitas yang sama di setiap harinya tanpa menyadari apa yang mereka lakukan sama sekali tak sama seperti hari kemarin.

"Akan ada sesuatu hal yang baru datang setiap saat selama kamu hidup dan bergerak."
Selama kamu hidup dan bergerak saja kamu sudah mendapati hal yang baru, apalagi di setiap pagi saat kamu membuka mata.

Kesalahan orang selama ini adalah mereka tak pernah menyadarinya. Menyadari bahwa hal yang harus  mereka lakukan setiap harinya adalah tetap sadar. Terbayang berapa banyak waktu yang orang habiskan untuk melewatkan opportunities yang sangat berharga, dibandingkan dengan keluhan yang mereka keluarkan.

Jadi ketika kamu membuka mata di pagi hari, bukalah cakrawala pikiran dengan menyadari. Imbalannya? Kamu tak akan merasa jenuh.

"It's what we call new chapter of life."

Sabtu, 01 Juni 2013

Bandung, 1 Juni 2013

Matahari menopang sore nan ganas, kemudi angin masih macet dibelenggu waktu.
Gedung-gedung baru berlari, tak ingin dimakan jaman
Aku pun masih bingung, mengapa biru ini tak enggan untuk tinggal

Tak ada yang patut disayangkan,
Lalu teriakan-teriakan manis ini serta merta menggulung peluh

Waktu tak pernah berhenti tertawa
Apa yang mereka tertawakan? Huh...hah...huh...hah

Seketika bayangan pecahan api di lilin putih muncul
Halus, tanpa asap

Waktu semakin menderu, bulan pucat
Senyum gelap itu tak pernah bisa menahanku
:)
Air tempatku berdiri meruntuhkan titik bias
Ketika itu pula aku layangkan pandang lurus ke depan, tepat dimana ragamu berada
Aku tak memiliki pelabuhan lain untuk perahuku berlabuh.

Indonesia Movie Industry: Gain or Challenge

Movie is an entertainment media which is not strange anymore at this time. It would not be difficult for movie lovers to find out the interesting movies in terms of story line or only the entertainment to release fatigue. Cinemas are everywhere, especially in the big cities. Movie lovers can easily access the website available to know the title, synopsis, until the schedule of the movies itself in all over the world.

In Indonesia, the big cities such as Jakarta, Bandung, Yogyakarta, and Surabaya have a large number of cinemas and also movies aired after another. However, it could be discovered that there are still many of Hollywood movies dominated in every cinemas. On the official website of cinema 21 and XXI in Indonesia,21cineplex.com, is seen that the amount of Indonesian movie aired in Bandung only four of the total of eleven movies. The rest are Hollywood movies in various genres.


The fact above shows that the amount of movies made by Indonesian still under the average of Hollywood movies. The comparison between Indonesian movies and Hollywood movies depends on the quality of the movies itself. “Indonesian movie industry is still far behind Thailand movies that advance rapidly. However, the quality of Indonesian movies nowadays is better than the previous years, indeed,” said Ryan Aditya (23), the editor of Cinemags magazine.


Talking about the quality, Indonesian movies cannot be separated from positive and negative sides that affected in a row of the development of the Indonesian movies itself. Ryan added that the positive side of Indonesia movies is the progress of the quality from the movies, both in terms of story line and also the technique aspects, while the negative side is most of Indonesian popular movies are adapted from popular novels. It is almost hard to find Indonesian movies with the original script that explode in the movie industry and have a strong and good quality of the story. Different with Hollywood which can develop original story without adapted from books or novels which cause Indonesian movies are difficult to develop and do not have the original story.


Indonesian movies also have not find out a new phase in taking movie genres. Currently, most of the movies made by Indonesian filmmakers are dwelled in drama, comedy, and horror, as stated by Ryan, “Drama and romance are the most developed genres in Indonesian movie industry, especially those which give dreams and hopes, for example Laskar Pelangi (The Rainbow Troops) and 5 cm. There were also religion theme, such as Ayat-Ayat Cinta (Love Verses) and Sang Kiai. The latest genre appears is action, for instance The Raid.”


Unfortunately, most of Indonesian action movies aired all this time were made by foreign directors, for example The Raid, directed by Garet Evans from the UK. Then recently a movie entitled Java Heat was directed by Conor Allyn from the US, which involves foreign famous Hollywood actor, Kellan Lutz (as Emmett in Twilight series) and Mickey Rourke (as Ivan Vanko in Iron Man 2). It seems that Indonesian filmmakers are rarely dare to take the challenge to do the same as the foreign director did.



Java Heat movie poster


Quality experienced by Indonesian movies can help to find out excess and shortage which can lead to the benchmark of the Indonesian movies development at the present. Ryan stated that the excess of the current Indonesian movies is a large number of new idealist filmmakers who want to lead Indonesian movies to be better. The motivations which make the filmmakers try to give the best are the high-level of competition-feeling and also they want to make something extraordinary, whereas, still there is a shortage videlicet lies in term of execution and the diversity of the genres.

Based on the Ryan’s point of view, Indonesian movies are assessed to the seasonal. For instance, if there is a movie with religion background appears and can attract a lot of audiences, other directors try to make new one with the same background also to attract a lot of audiences. It is all about advantages or gain. “There must be audiences of each genre of the movies,” he continued. “Movie performers, especially those who have asset, are still dwelled on market demand (profit oriented) and do not want to take risks to try something new. It answers the question why Indonesian movies still have lack of creativity. Indonesia needs young fresh filmmakers who have new ideas, those who dare to think out of the box, out of market genres. Seeing this kind of development, the quality of Indonesian movies are still far away from Hollywood movies. Nevertheless, if there are so many young filmmakers with their fresh ideas and have the ability of break the challenge, Hollywood’s quality is in Indonesia’s hand. (Aulia Angesti, 1002794)





Kamis, 30 Mei 2013

People Nowadays

Fenomena. Gejala. Isu.

Tentang perubahan. Tentang pemikiran. Tentang gebrakan.