Kamis, 26 Desember 2013

Koran Pagi


Tak ada orang yang suka menunggu. Begitulah kesimpulan yang aku ambil secara dangkal ketika melihat orang-orang dengan ketus meninggalkan tempat duduk mereka karena yang mereka tunggu tak segera datang. Aku pun tak suka menunggu. Namun aku disini lebih senang memperhatikan keketusan orang-orang satu demi satu yang mulai meninggalkan halte karena bus kota tak kunjung menampakkan dirinya. Raut muka masam serta umpatan-umpatan pelan yang mereka lontarkan menggelitik hatiku.

Jarum langsing yang berputar di tanganku sudah menunjuk angka enam, berarti sudah hampir dua puluh menit aku duduk menunggu disini. Bus yang ditunggu tak juga datang, sementara orang-orang lebih memilih pergi dan mencari taksi atau angkutan umum lain demi mengefektifkan waktu yang tak banyak mereka punya.

Jalanan mulai terasa ramai. Suara klakson sedikit-sedikit terdengar dari berbagai penjuru arah. Orang-orang tak sabaran yang juga mengejar waktu hendak menuju sekolah atau tempat kerja. Lampu merah di perempatan jalan juga sudah beralih dari yang hanya berkedip-kedip dengan lampu kuningnya, berfungsi sebagaimana mestinya dengan warna merah, kuning dan hijau secara bergantian.

Kuputuskan untuk beranjak sebentar membeli coklat panas di kedai ujung jalan, lalu mengobrol sebentar dengan kakek baik hati si penjaga kedai. Sebelas tahun berjualan, tak pernah sekalipun ia gagal meracik coklatnya. Kental dan manisnya pas. Aku berpamitan padanya sehabis dia menambahkan satu sendok krim kopi pada coklatku. Untuk menambahkan rasa gurih, katanya.

Aku kembali pada tempat dudukku di halte. Tak banya orang yang duduk disana, kebanyakan meninggalkan halte dengan raut muka ditekuk. Bus belum juga datang padahal waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit. Aku kembali menikmati jalanan yang sudah padat dengan sabar.

Beberapa menit berlalu, di kejauhan tampak seorang laki-laki berjalan mendekat. Tangan kirinya digunakan untuk membawa tumpukan koran, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah koran terkenal, seraya mulutnya yang tak henti menawarkannya pada orang-orang yang ia lewati. Kulitnya hitam manis. Pakaiannya lusuh namun bersih, tak lupa topi krem yang tak pernah lupa ia kenakan setiap hari.

Senyumku terkembang ketika ia menghampiri seraya duduk di sebelahku. Ia memberikan koran yang biasa aku baca, kemudian aku memberinya selembar uang lima ribuan. Kami lalu larut dalam perbincangan tentang berita dan informasi dari koran yang ia jual hari ini. Terlepas dari penjual koran, ia adalah kecerdasan nyata yang menelusup masuk memenuhi rongga udara logika yang berputar di pikiranku. Aku merasa tercerahi.

Sepuluh menit kemudian ia pamit untuk melanjutkan menjual korannya yang masih banyak. Aku hanya mengangguk melepasnya pergi. Tak lama bus kota datang. Orang-orang di halte langsung berebut masuk supaya mereka dapat tempat di dalam, sementara aku tak beranjak dari tempatku duduk. Kondektur bus segera menutup pintu karena tahu aku tak akan naik bus itu, bahkan ia mungkin sudah puluhan kali menawariku naik dan aku hanya menggeleng sebagai balasan.

Dan selalu, di setiap pagiku, bukan bus kota yang aku tunggu.



Aulia Angesti
Thursday, December 26, 2013. 09:44