Selasa, 27 Mei 2014

#MovieCorner #10: Godzilla

Warning, spoiler alert!

Siapa sih yang nggak kenal dengan nama monster satu ini?

Anak generasi ’90-an model gue udah tau banget dengan keberadaan monster asal Jepang tersebut yang banyak menghiasi layar kaca kala itu. Bedanya, jaman dulu film Godzilla masih berjenis kartun dan dan berepisode, kali ini Hollywood mencoba peruntungan dengan membawanya kembali ke dalam bentuk film nyata, dengan kisah yang didesain berbeda dari Godzilla yang dirilis di tahun 1998.


Di mulai dengan opening scene yang mengulas arsip-arsip tentang uji coba nuklir yang sebenarnya adalah upaya pembunuhan monster Godzilla di tahun 1950, film kemudian bergulir ke latar belakang kelahiran seekor monster bernama MUTO di Filipina yang nantinya akan menimbulkan kerusakan dan mengancam kehidupan umat manusia di dunia. Adalah Joe Brody (Bryan Cranston), seorang peneliti yang mempercayai bahwa gempa yang menghancurkan salah satu pusat pengembangan reaktor di Jepang dan menyebabkan istrinya tewas karena paparan radiasi bukanlah gempa karena aktivitas seismik. Ia melakukan penelitian selama 15 tahun dan seringkali melanggar batas wilayah radiasi sehingga putranya-lah, Ford Crody (Aaron Taylor-Johnson), yang harus membebaskannya. Ford, yang sedang menjabat sebagai seorang letnan angkatan laut Amerika, sulit untuk mempercayai apa yang dikatakan oleh ayahnya hingga kemudian ia dan ayahnya ditangkap di pusat radiasi yang ternyata menjadi markas penelitian monster MUTO lainnya. Monster MUTO tersebut kemudian bangkit dan mengancam kehidupan umat manusia dengan memburu radiasi dan akan berkembang biak dengan jantannya, dan seorang peneliti bernama Dr. Ichiro Serizawa (Ken Watanabe) yang juga telah mendalami kasus tentang monster, percaya bahwa Godzilla akan bangkit bereaksi terhadap serangan MUTO dan akan mengembalikan keseimbangan alam.


Film arahan sutradara Gareth Edwards ini nampaknya belum cukup memuaskan ekspektasi para penonton mengenai sosok monster Godzilla. Pasalnya, rating di IMDb.com hanya mampu bertengger di angka 7.3 saja. Di lihat dari segi action and visual effect, bisa dibilang lumayan bagus lah. I like the fighting between Godzilla and MUTO in several scenes. Namun dari segi cerita, Edwards tidak begitu menawarkan cerita yang unik. Ia hanya membiarkan adaptasi dari film-film dahulunya berjalan dengan sedikit improvisasi. Karakter yang dikeluarkan disini apalagi. Payah. Gue nggak melihat ada sebuah karakter kuat yang melekat di salah satu tokoh-pun, terutama pada Ford. Walaupun peran utama yang ditekankan disini memang Godzilla, namun gue rasa penekanan pada tokoh pendukung juga penting. Ford harusnya bisa lebih terlihat kuat dan menantang, bukan hanya sekedar tokoh biasa yang banyak disorot kamera. Well, I was expecting too much, by the way.

RATE: 7/10

Godzilla (2014)
Action – Adventure – Sci-Fi
123 minutes

Director              : Gareth Edwards
Production Co  : Warner Bros and Legendary Pictures
Released              : 16th May 2014 (Indonesia)



Picture and information source:
(all retrieved on 27th May 2014)

Minggu, 25 Mei 2014

#MovieCorner #9: X-Men Days of Future Past

Warning, spoiler alert!

Longing Wolverine, anyone?

Then, I suggest you to go to theater and see him with his X-Mates fight in Marvel’s X-Men: Days of Future Past.


Setelah Captain America dan The Amazing Spider-Man 2, di akhir bulan ini Marvel juga merilis mutan-mutan andalannya untuk bertarung dalam sekuel film superhero terkenal X-Men. Mengangkat sub-judul Days of Future Past, kali ini para mutan X-Men harus bertarung melawan tentara penghancur mutan rancangan Dr. Bolivar Trask (Peter Dinklage) yang disebut dengan sentinel. Sentinel sendiri adalah tentara mesin yang dirancang khusus menggunakan DNA Mystique (Jennifer Lawrance) dan memiliki kekuatan yang memungkinkan mereka untuk membunuh mutan dengan menyesuaikan kekuatan para mutan tersebut. Menghadapi sentinel adalah tindakan bunuh diri, persis digambarkan dalam opening scene dimana para mutan X-Men; Warpath (Booboo Stewart), Colossus (Daniel Cudmore), Sunspot (Adan Canto), Blink (Bingbing Fan), Bishop (Omar Sy), Kitty Pryde (Ellen Page), dan Iceman (Shawn Ashmore) berusaha melawan dan lari dari kejaran sentinel dengan mengerahkan seluruh rencana dan kekuatan mereka untuk bertahan.

The only way they can survived is they have to alter the past to save the future, and Logan a.k.a. Wolverine (Hugh Jackman) is the one who have a capability to do it because of his brain which can heal itself as quick as it injured. Wolverine akhirnya pergi ke masa lalu atas perintah Prof. Xavier (Patrick Stewart) dan Magneto (Ian McKellen) yang akhirnya bekerja sama, ke tahun 1973, untuk mencegah Mystique yang berencana membunuh Trask dan membuat program sentinel disetujui oleh pihak pemerintah AS. Tidak hanya itu, untuk mencegah Mystique, Wolverine harus mempengaruhi dan mengajak kerja sama antara Xavier muda (James McAvoy) dan Magneto muda (Michael Fassbender), yang saat itu masih masih menjadi orang yang idealis dan keras kepala satu sama lain. Para mutan lain, juga Storm (Halle Berry), bertugas untuk melindungi dan memberikan waktu selama mungkin yang diperlukan oleh Wolverine untuk mengubah sejarah.


Jika melihat rating di IMDb.com yang mencapai 8.7, gue rasa memang nggak overrated deh. Pasalnya, sang sutradara Bryan Singer memang membumbui film ini dengan rasa yang tepat. Di mata gue, X-Men ini akan sama penilaiannya dengan Christopher Nolan’s The Dark Knight Rises; ceritanya dapet, action-nya dapet, di dukung dengan sejumlah aktor dan aktris yang ‘wah’. Dari awal film, kita udah disuguhi dengan tense aksi yang tinggi dari pertarungan antara mutan X-Men dengan para sentinel, kemudian cerita mulai bergulir rapi dimana Wolverine harus melaksanakan tugasnya di tahun 1973. Twist demi twist dimunculkan satu persatu related dengan pemahaman kita dengan cerita-cerita X-Men sebelumnya. Selain itu aktor dan aktris yang mendukung film ini juga bermain apik dalam menjalankan role-nya di film tersebut. Tak hanya pendalaman peran dan karakter, namun hubungan-hubungan antar karakter juga. If I can say, they’re such trully mutants!


However, ada satu hal yang gue sayangkan; penyelesaian masalah dalam tiap twist terlihat gampang. Contohnya saat Wolverine membujuk Xavier muda untuk mempercayainya, dengan gampangnya Xavier percaya akan apa yang dikatakan Wolverine, mengingat kondisi saat itu adalah Xavier sedang dalam kondisi down dan powerless. I expected that Singer could do more to make it complicated, lol. But at least, it is much much better than The Wolverine (2013).

RATE: 9/10

P.S.: The extra scene is only about ten seconds, and it’s okay to miss it this time. -_-


X-Men: Days of Future Past
Action – Adventure - Fantasy
131 minutes

Director              : Bryan Singer
Production Co  : Twentieth Century Fox Film Corporation and Marvel Entertainment
Released              : 21st May 2014 (Indonesia)



Picture source:
(all retrieved on 25th May, 2014)

Sabtu, 24 Mei 2014

#FoodSpot #9: Roti Gempol and The Kopi Anjis!

Evening, Bandung!

Since it’s Saturday and some couples or families might wanna go out to have a quality time together, I have a culinary spot review for you, guys. Jangan khawatir dengan tanggal tua karena tempat yang gue review ini menyediakan makanan berharga lumayan murah yang cocok banget buat lu yang mau ngemil-ngemil sehabis nonton atau sekedar ingin menghabiskan waktu di luar atau yang habis makan malem tapi masih laper aja, hehe.

Nama kafenya sendiri adalah Roti Gempol and The Kopi Anjis!, dan terletak di Jalan Surya Sumantri nomor 25. Cukup dekat dengan kampus Maranatha, jika keluar dari GT. Pasteur, langsung belok kiri di perempatan dan lokasinya sekitar 50 meter di sebelah kiri. Plang kafenya juga cukup besar kok, jadi langsung kelihatan gitu begitu lewat.


Begitu masuk, tempatnya masih belum begitu ramai karena masih sekitar jam 11 siang. Denger dari beberapa temen, biasanya kalo kesana saat waktu makan siang atau makan malam bisa sampai waiting list gitu. Langsung ambil spot paling ujung biar santai. Nggak lama, seorang mbak waitress yang ramah nyamperin untuk ngasih list menu.



Kafe ini punya spesialis untuk urusan menu, yaitu roti gempol dan kopi, sesuai namanya. Usut punya usut, roti yang disajikan disini seluruhnya adalah roti homemade produksi sendiri. Menu rotinya juga beragam, ada roti manis dan asin, terus juga pilihan rotinya antara roti tawar dan gandum. Kopinya juga racikan sendiri gitu. Oh iya, disini sedia juga produk-produk teh dari Addictea yang udah dikemas dalam kemasan botol yang praktis dan siap minum (yang buat gue menyesal kenapa nggak pesen thai tea aja as usual L). Jadi harusnya judulnya Roti Gempol, The Kopi Anjis! dan Addictea kali ya, hehe.






Setelah sekian lama meruntut list menu, akhirnya terpilih juga roti gandum asin komplit isi daging telur keju featuring Ovaltine dingin. Itung-itung mengenang masa kecil yang doyan banget minum Ovaltine gitu deh. Kopinya belum sempet gue cobain. Temen-temen yang lain ada yang pesen asin juga, ada yang pesen roti manis Nutella juga. Selain roti, disini juga sedia menu lain kok, seperti menu olahan tahu, Indomie, pisang, hingga seblak.


Nunggu sekitar 15 menit kemudian makanan yang kami pesan satu persatu datang. Rasanya enaaaak. Nggak tau gue lagi laper deh jadi lebay, hehe. Tapi beneran deh, rotinya doang aja enak. Mungkin karena bikinan sendiri ya jadi kerasanya lebih fresh, beda dengan roti gandum yang dijual di supermarket. Cuma sayang Ovaltine yang gue pesen kebanyakan air dan es, jadi kerasanya agak hambar. Lain kali mungkin bakal gue cobain kopinya gitu, penasaran juga dengan kopi yang bisa bikin bilang ‘anjis!’ itu, hehe.

And finally, I rate 8 for Roti Gempol.

For more information, you can click the their accounts below.

Twitter           : @roti_gempol @TheKopiAnjis @addic_tea

Location         : Jalan Surya Sumantri No. 25, Bandung

Kamis, 15 Mei 2014

We Live to Choose

"Hidup adalah pilihan."

adalah salah satu quote yang bagus, namun menjadi salah satu quote yang juga paling gue benci. Pilihan terlihat seperti kutukan. Selama kita hidup, ya selama itu pula-lah kita harus menghadapi ribuan opsi untuk dipilih. Sudah terlihat menjengkelkan? Belum? Oke gue lanjutin.

Hidup, bagaimanapun dan dari sisi manapun kita melihatnya, tidak pernah terlihat mudah. Hidup bukan hanya tentang bernafas dan mempekerjakan panca indera kita sebagaimana mestinya, namun hidup juga mengharuskan kita untuk selalu menghadapi resiko. Dan resiko-resiko tersebut ada karena berbagai pilihan yang kita ambil maupun kita tidak ambil.

Choosing is not only about determining what we want or where to go. Choosing is determining the path, our path.

Layaknya hidup, pilihan juga tak selamanya mudah. Kadangkala kita harus menentukan mana yang terlihat lebih baik dari banyak hal yang paling tidak kita sukai. It won't be easy. It will never be easy, as I write it here.

One thing that you should remember is what will make your life better.
Pilihan nggak selamanya akan membawa kita ke jalan yang lebih mudah, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa pilihan akan menuntun kita ke jalan yang lebih baik.

Seperti yang gue bilang di atas, memilih bukanlah merupakan sesuatu yang mudah, jika situasi dan kondisinya juga sulit. Namun apa yang membuat hidup kita lebih baik, akan memudahkan meminimalisir resiko negatif yang mungkin ditimbulkan dari apa yang kita pilih.

Well, we live to choose, and nothing we can do about that. But we can choose the option that will make our life better. Not easier, but better, and it's more than enough to minimize the bad risk that might come later.

Rabu, 07 Mei 2014

#FoodSpot #8: The Hartwood

Selamat pagi, Bandung!

Satu lagi nih cafe cozy di Bandung yang baru aja gue cobain barengan dengan temen-temen nongki gue. Namanya The Hartwood, mungkin pernah dengar atau pernah cobain sendiri? The Hartwood ini terletak di jalan Cimanuk, Bandung. Kalau lu dateng dari jalan Riau, cukup mudah menjangkaunya karena lu udah tinggal lurus terus sampai bunderan. Lu akan menemukan The Hartwood di sebelah kanan.



Tempatnya sendiri cozy enough, cocok buat nongkrong sambil ngobrol-ngobrol seru. Interiornya ala Eropa banget, mirip-mirip dengan Le Marly Pantry yang pernah gue bahas sebelumnya. Bedanya jika Le Marly mengusung Perancis sebagai tema utama, yang ini kayaknya lebih ke Inggris gitu deh.





Mengusung tema ‘gourmet and grind’, udah ketebak dong spesialisasi dari kafe ini apa. Yak betul, steak. Cuma sayang gue ngga nyobain steak-nya karena lagi pengen sesuatu yang hangat berhubung gue kehujanan dulu di jalan. Jadi gue pesen Wild Mushroom Soup dan Thai Tea (selalu, hehe). So sorry menu list-nya nggak sempet gue foto berhubung menunya gede banget. Info menu dan harga sebenarnya udah tercantum di web-nya, hanya saja harganya belum di update. But don’t worry, harga yang tercantum di web mungkin cuma beda sekitar lima ribu-an dengan harga yang berlaku saat ini di kafenya.

Thai tea duluan dateng, menyusul dengan mushroom soup yang gue pesen tadi. Soupnya itu sendiri berupa cream soup jamur halus, gue nggak tau apa jenis jamurnya, tapi jadinya seperti soup oreo karena warna hitamnya gitu. It’s served with roti mentega kering. Rasanya lumayan enak, dan nggak terlalu panas. Cocok untuk yang baru kehujanan, hehe. Untuk thai tea-nya menurut gue agak kurang manis, masih lebih enak di Le Marly. Harga pun masih lebih enak di Le Marly, hehe.



I rate 7.5/10 for The Hartwood.


Website          : www.thehartwood.com
Twitter           : @Hartwood_
Location         : Jalan Cimanuk No. 12, Bandung

Selasa, 06 Mei 2014

#MovieCorner #8: The Amazing Spider-Man 2

Warning, spoiler alert!

Please say hello to spider-guy who likes to swing in New York’s skyscrapers!


Bulan April-Mei ini bisa dibilang bulan-bulan spesial untuk Marvel, ya? Gimana enggak, Marvel langsung merilis tiga proyek film besarnya di dua bulan ini; Captain America: the Winter Soldier, The Amazing Spider-Man 2 dan X-Men: Days of Future Past. Nah, karena sebelumnya gue udah bahas tentang Captain America, sekarang waktunya gue bahas tentang manusia laba-laba yang menjadi superhero sekaligus tukang main-hakim-sendiri di New York City.

Film arahan Marc Webb ini menceritakan tentang kelanjutan hidup si manusia laba-laba, Peter Parker (Andrew Garfield), yang memiliki seorang pacar cantik dan cerdas bernama Gwen Stacy (Emma Stone).  Spider-Man, yang mengabdikan diri  untuk membasmi kejahatan di New York tanpa pamrih dan terkenal agak slengean ketika ia berada dalam kostum Spider-Man itu, ternyata juga memiliki masalah-masalah hidup seperti manusia biasa, baik kehidupan ekonominya yang tidak cukup mudah bersama Bibi May (Sally Field) karena ditinggalkan kedua orang tuanya saat ia masih kecil, juga masalah cintanya bersama Gwen yang menjadi complicated karena kekhawatiran terhadap ancaman musuh (plus, bayangan ayahnya Gwen yang selalu menghantui ketika ia merasa melibatkan Gwen dalam bahaya). Belum lagi ulah para penjahat yang mengancam warga kota New York, yang dalam film ini adalah Electro (Jamie Foxx) dan Green Goblin (Dane DeHaan). Juga, misteri tas berisi sejumlah berkas yang ditinggalkan oleh orang tuanya yang tak memiliki arti apapun baginya. Spider-Man, dengan segala cerita rumitnya, harus membayar kekuatannya dengan tanggung jawab besar yang ia emban, bagi hidupnya, maupun bagi warga New York City.


Marc Webb, sosok dibalik semua ke-amazing-an ini, tampaknya hanya bisa menjawab rasa penasaran terhadap filmnya, namun tak bisa memuaskan ekspektasi penonton mengenai Marvel’s movies. Hal tersebut terbukti dari bertenggernya The Amazing Spider-Man 2 di puncak box office minggu ini dengan keuntungan yang mencapai $91.6 M, namun hanya mendapat 7.5 di rating filmnya, jauh di bawah Captain America yang mencapai 8.4 (IMDb.com).

Menurut gue, apa yang membuat angka 7.5 tersebut adalah terlalu banyak story twist dalam filmnya. Webb membuat semuanya terasa rumit di film ini. Hubungan Richard Parker dengan Norman Osborn dan OsCorp maupun hubungan Harry Osborn dengan Norman dan OsCorp. It’s actually good for you to make those plots, but you have to understand and put yourself as the viewer. Dan juga terlalu banyak drama yang ditampilkan di film laga ini. Hubungan Peter dan Gwen begitu habis-habisan di expose dalam film, walaupun gue akuin penjiwaan mereka hebat, terlepas dari mereka memang merupakan happy couple di dunia nyata.


Gue pun merasa agak sedikit bosan di tiga perempat film karena memang sudah lelah untuk berpikir dan mengikuti jalan ceritanya. Mungkin juga karena filmnya nggak happy ending jadi orang-orang kecewa. So sorry Emma Stone, your contract has run out.


Tapi di balik itu semua, bukan Stan Lee dan Marvel namanya jika dia nggak membuat filmnya terlihat bagus. Marvel masih tetap juara dari segi visual effect. It means that I feel the swing of this Spider-guy, apalagi jika lu memutuskan untuk nonton di 3D atau 4DX. Gue pribadi selalu puas dengan efek visual yang ditampilkan oleh Marvel, yang dari waktu ke waktu semakin amazing aja. You guys did great.

I think 7.5 is still worthy to be watched, and I hope the next Amazing Spider-Man (3, 4) will be greater and greater than this. You still can put this film into your watch-list on weekend, by the way. Happy watching. J



Rate: 7.7/10


P.S.: Remember, Marvel always has something special after the credit title ends.


The Amazing Spider-Man 2
Sci-fi - Action – Adventure - Fantasy
142 minutes

Director(s)        : Marc Webb
Production Co  : Marvel Studios and Entertainment
Released              : 30th April 2014 (Indonesia)


Jumat, 02 Mei 2014

#FoodSpot #7: Wingz O Wingz

Hello, again!

Berhubung beberapa waktu ini chicken wings atau sayap ayam lagi booming banget di wilayah Bandung, kali ini review gue juga akan membahas mengenai salah satu fast food provider di Kota Bandung yang menjadikan chicken wings sebagai menu utama dan andalan mereka.

Nama restonya sendiri adalah Wingz O Wingz, letaknya di jalan Naripan (dari arah Tamblong lurus terus sebelah kanan jalan dan sebelum Be Mall). Posternya lumayan besar kok di depan restonya, jadi pasti kelihatan. Tempatnya memang nggak begitu luas, tapi selalu ramai digandrungi anak muda, kayak waktu gue kesana hari Kamis pas May Day kemarin.



Begitu masuk, dekorasi interiornya terlihat lumayan bagus juga. A la anak muda banget lah, walaupun tempatnya nggak begitu luas. Langsung minta list menu kepada waiternya karena lapar sudah nggak bisa dikompromi lagi, hehe.





Setelah beberapa menit, akhirnya diputuskanlah untuk memesan Paket Combo 1 dan 2, serta Pancake Vanilla Oreo. Bedanya Combo 1 dan 2 Cuma terletak pada jumlah sayap ayamnya aja kok, yang 1 isi 4 sayap ayam, yang 2 isi 6 sayap ayam. Untuk teman makan ayamnya sendiri kita boleh memilih antara rice, regular fries, atau spiral fries, dengan harga yang berbeda. Minumnya juga boleh pilih antara mineral water, lemon tea, ice tea, atau Coke.

Terdapat pula sepuluh pilihan rasa untuk chicken wingsnya sendiri; pepper cheese, regular hot, super hot, ozaki, US crispy, honey lemon, blackpepper, atomic, hickory, dan honey BBQ, dan yang kami pesan adalah pepper cheese dan atomic.

Selang beberapa lama, akhirnya makanan kami datang juga. Uniknya, jika biasanya makanan disajikan menggunakan piring, yang ini disajikan dengan menggunakan keranjang yang dialasi dengan plastik kertas. Supaya hemat air kali ya buat nyuci piring, hehe.

Pepper cheese punya gue merupakan chicken wings yang dibalut tepung dan digoreng, lalu mungkin di-shake dengan pepper dan cheese-nya. Sedangkan yang atomic itu sama juga digoreng dengan tepung lalu di-shake dengan bumbu pedas. Dua-duanya lumayan enak menurut gue, dengan ukuran wings yang lumayan besar.


Pancake kemudian datang setelah ¾ dari chicken wings kami habis, pas banget waktunya. Pancake vanilla oreo ini adalah dua lembar pancake dengan potongan Oreo di dalamnya yang disajikan dengan topping vanilla ice cream dan taburan biskuit Oreo juga. Manisnya pas, matched dengan topping yang ada. Sayang nggak sempet terabadikan gambarnya si pancake ini karena toppingnya udah meleleh duluan sebelum difoto, nggak indah jadinya, hehe. But overall, enak!


I rate 8.2 for Wingz O Wingz.


Twitter      : @wingzowingz
Location    : Jalan Naripan 42a Bandung

#FoodSpot #6: Bakso “Enggal” Malang

Good evening, people!

Siapa sih yang nggak suka bakso? Makanan itu selalu jadi primadona dimanapun karena tergolong merakyat. Bola daging yang dilengkapi dengan kuah yang gurih pas banget jika dinimati di musim penghujan seperti ini, apalagi jika ditambah pelengkap seperti mie, bihun, sayur, atau bahkan kerupuk pangsit. Ciri khas dari bakso ini antara lain selalu dijajakan di pinggir jalan atau dengan gerobak keliling.

Namun, ada juga bakso yang disajikan di resto sendiri, seperti yang bakal gue bahas berikut. Namanya Bakso “Enggal” Malang, dan resto bakso ini punya dua spot di Bandung, yakni di jalan Burangrang (berseberangan dengan NgopDoel) dan jalan Pasteur (sehabis flyover Pasupati arah jalan tol). Sesuai namanya, resto ini menyajikan bakso khusus khas Malang, jadi jangan harap lu bisa menemukan mie atau bihun disini.



Bakso ini sudah menjadi langganan sejak beberapa tahun lalu karena dulu harganya masih tergolong sangat murah, sekarang jadi lumayan mahal juga bagi gue yang seukuran mahasiswi, hehe. Pemesanan bakso disini menggunakan sistem prasmanan, jadi kita bisa mengambil apa saja yang kita mau untuk kemudian di hitung saat di kasir. 



Layaknya bakso Malang, di resto ini tersedia bakso urat, bakso halus, siomay kering, siomay basah, risol, tahu, dan yang menjadi favorit gue adalah bakso goreng! Sekali makan gue bisa menghabiskan sekitar lima bakso goreng, baik dengan maupun tanpa kuah. Itu pun belum tambahan lain seperti bakso urat, risol, dan siomay. :p





Hal lain yang bikin pengen balik lagi adalah kuahnya yang gurih maksimal, cocok banget combined with bakso dan antek-anteknya, hehe. Untuk minuman sendiri tersedia berbagai macam jus buah, cappucino, atau teh botolan. Gue biasa pesen teh botolan aja karena rasanya pas banget kalo makan bakso dan minum teh dingin gitu deh.

Nah buat lu yang udah di Bandung atau berencana akan ke Bandung, boleh nih icip-icip, tempatnya cukup mudah dicapai kok, strategis di tengah kota. Enjoy the food! J

I rate 8.5 for Bakso “Enggal” Malang.