Ada
yang mengganjal hatiku ketika aku berjalan di salah satu jalan protokol di kota
kembang ini. Entah mengapa pula aku memutuskan berjalan. Sehabis makan siang di
warung soto pinggiran dekat kantor tadi aku memutuskan tak langsung pulang ke
rumah.
Matahari tak menunjukkan taringnya siang ini, ia
hanya menyeringai. Namun di tempatku berjalan ini teduh, rangkaian pepohonan
tak berhenti sejauh mata memandang. Lumayan lah, jalanan ini sejuk dibandingkan
jalan-jalan lain seperti jalan Gatot Subroto, atau bahkan jalan Soekarno Hatta
yang tergolong gersang.
Berniat memutari beberapa blok di jalanan ini
saja, lagipula sudah lama aku tak memiliki waktu senggang dan sendiri seperti
ini. Kerjaan di kantor akhir-akhir ini semakin menggila saja. Aku pun turut
menjadi korban dari kegila-gilaan tersebut untuk beberapa minggu, sebelum
akhirnya atasan marah atas kegilaanku kemudian aku dipecat siang tadi. Disinilah
aku setelah itu, siapa tahu pikiranku bisa tenang dengan menikmati udara yang
lumayan ramah ini.
Heran juga Bandung bisa sesepi ini, hanya beberapa
mobil yang lewat di menit-menit terakhir. Padahal jalanan ini merupakan jalanan
yang termasuk ramai, bahkan bisa sampai macet jika weekend datang. Tentu saja plat-plat luar kota jauh lebih banyak
mendominasi, hingga penduduknya sendiri merasa malas untuk berjalan-jalan di
Bandung di hari-hari libur tersebut. Syukurlah ini bukan weekend dan aku bisa leluasa menikmati suasana ini.
Lelah berjalan kemudian berhenti di warung pinggiran,
memesan air mineral botolan kepada ibu pemilik warung dan duduk di kursi kayu seadanya
yang sudah disediakan. Tanganku merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan beberapa
lembar kertas dari dalamnya, melihatnya sebentar dan terdiam. Kertas-kertas ini
lah yang membuatku dipecat siang tadi, laporan bidang yang tak sesuai dengan
laporan perusahaan.
Semenjak menjabat beberapa minggu lalu, atasan
baru di kantor tempatku bekerja sudah memecat tiga orang, termasuk aku. Ia tak
puas dengan kinerja kami, katanya. Sejak awal ia masuk pun sudah membawa hawa
tak enak. Galak, juga tak berperasaan terhadap pegawainya. Wanita yang ingin
terlihat perfeksionis. Aku maklum, ia putri satu-satunya dari si pemilik
perusahaan, wajar jika ia seenak jidat dalam memimpin. Lagipula aku sudah tak
tahan, dalam seminggu ini aku sudah kena marah empat kali, dari lima hari kerja.
Sering aku mengutuknya, namun sekarang aku lebih
mengutuk hidupku sendiri. Ibu sakit dan sedang sendirian di rumah, pasti akan
sangat kecewa jika tahu putri satu-satunya dipecat dari kerjaan. Aku menghela
napas panjang. Paham betul bahwa keadaanku sekarang sedang tidak dalam zona
nyaman. Uang tabunganku saja hampir habis, untuk biaya berobat ibu yang tak
kunjung sembuh. Sekarang kertas-kertas di tanganku ini tak lagi berguna selain
menjadi kipas untuk mengurangi keringat setelah lelah berjalan tadi.
“Cari
alamat ya, neng?” kata ibu pemilik warung tiba-tiba, mengagetkanku.
“Ngg...engga
kok bu, kenapa memang?” balasku.
“Oh,
ibu kira cari alamat. Biasanya kalau lihat-lihat kertas gitu lagi cari alamat.
Lagian neng sendirian aja kayak yang bingung,” jawab si ibu sambil terkekeh.
“Ngga
kok bu, ini kertas sudah tak terpakai jadi saya bingung untuk apa. Saya jadiin kipas
aja deh bu, lumayan. Hehe,” balasku sekenanya.
“Kuliah,
neng?” tanya si ibu, sambil menyuapi anak perempuannya yang ingusan.
“Engga
bu, udah kerja. Tapi baru aja dipecat, biasa lah bu atasannya galak,” jawabku,
kemudian ucapan-ucapan curhatanku selanjutnya tentang pekerjaanku meluncur
begitu saja dari mulutku. Aku juga tak paham mengapa aku bisa bercerita kepada
ibu separuh baya yang tak ku kenal dan bahkan namanya saja aku tak tahu.
Mungkin terbawa suasana.
“Ya
namanya juga hidup ya neng, kadang di atas, kadang di bawah. Seperti roda. Neng
sekarang ini sedang di bawah, mungkin. Asal jangan seperti ibu saja, di bawah
melulu. Hehe,” ujar si ibu usai mendengarkanku, kembali terkekeh. Ibu ini
nampak santai sekali menanggapiku.
“Ya
hidup itu ya kaya kertas itu ya neng, namanya apa ya, nas... naskah ya kalau
ibu engga salah. Naskah itu ada yang tulis, Tuhan neng. Minta saja sama Tuhan
menuliskan yang baik-baik untuk hidup neng. Tuhan mah engga bakal ngasih ujian yang engga bisa dilalui sama
hamba-Nya. Neng punya Tuhan kan?”
Aku tertegun. Tuhan, rasanya sudah lama aku putus
akses dengan Tuhan. Namun pelan-pelan aku mengangguk. Ibu itu kemudian pamit
pergi sebentar, mau ke mesjid untuk menunaikan sholat Ashar katanya. Matahari
masih menyeringai, dan kalimat “Neng punya Tuhan, kan?” itu seakan terus
bergaung di sekelilingku. Tak disangka-sangka, ucapan wanita separuh baya yang
mungkin saja tak sekolah itu bisa menohok hati sebegitu dalamnya.
Angin berhembus sepoi-sepoi memainkan rambut
sebahuku. Sejuk sampai ke hati. Tanpa sadar aku mengikuti langkah ibu yang
sudah jauh di depan itu, menuju mesjid. Maaf Tuhan, aku bukannya tak tahu malu,
namun aku ingin Engkau menulis yang baik-baik dalam naskahku.
Aulia Angesti
Bandung,
August 14, 2013. 10:10 a.m.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar