Rangga. Sebaris nama itu yang aku
lihat di lengan kiri kemeja biru tua yang ia kenakan pagi ini. Kemeja yang
sudah familiar di ingatanku sejak kira-kira dua tahun lalu, itu kemeja angkatan
jurusannya. Aku hafal betul si pemiliknya mengenakan kemeja itu sekali
seminggu. Harinya tidak tetap, pokoknya sekali seminggu. Berdiri disana, dekat
dengan jok supir, selalu disana setiap pagi. Dan aku menatapnya dari sini. Tak
pernah secara langsung, namun melalui pantulan bayangannya di jendela bus yang
sedang aku naiki ini. Bus ini menuju ke kampusku, juga ke kampusnya.
Sesekali ia membenarkan letak
kacamata berbingkai kotak hitamnya itu. Ia pintar, terlihat dari tatapan matanya
yang serius dan selalu melihat ke depan. Setiap pagi selama dua tahun ini kami
selalu dalam satu bus yang sama, namun tak pernah aku berani menegurnya.
Lagipula siapa aku ini, mungkin ia pun tak pernah menyadari keberadaanku
disini.
Hanya Rangga dan tingkah
misteriusnya yang aku tahu. Hanya itu. Namun aku tak pernah berhenti mengaguminya dari sini, tempat duduk sebelah
kiri baris kelima.
Dia, yang menatap matanya saja
aku tak sanggup, yang hanya mampu kuperhatikan gerak-geriknya lewat pantulan di
jendela bus setiap paginya. Dia, yang hanya sanggup kucintai diam-diam.
***
Namanya Pelangi. Aku pernah
mendengar temannya memanggil dengan nama itu. Nama yang indah, seindah paras
dan tingkah lakunya yang anggun. Disitulah ia pagi ini, seperti pagi-pagi
sebelumnya, duduk di baris kelima dekat dengan jendela. Dan disini lah aku,
berdiri agak dekat dengan jok supir, seperti pagi-pagi sebelumnya. Bus ini sedang
melaju dan akan membawa kami ke tempat tujuan yang sama, kampus.
Dua tahun, ya, jika hitunganku
tak salah aku sudah dua tahun ini memperhatikannya, sejak melihatnya pertama
kali di bus ini, di semester pertama aku mulai kuliah. Hanya Pelangi dan
penampilannya yang sederhana, hanya itu yang aku tahu dari gadis di belakangku
itu. Namun hatiku selalu berdesir setiap kali melihatnya, meskipun hanya lewat
kaca spion depan.
Tak pernah sekalipun aku
berkesempatan untuk menatap langsung matanya. Tak pernah ada keberanian muncul
untuk sekali menyapanya. Yang sanggup aku lakukan hanyalah menatapnya sesekali
lewat kaca spion itu, memperhatikannya yang selalu asik menatap keluar jendela.
Pemandangan sama setiap harinya, yang berubah hanya kemacetan yang kian lama
kian buruk saja, namun ia tetap asik menatap kesana.
Dia, gadis yang bahkan matanya
saja tak sanggup ku tatap, yang hanya mampu kuperhatikan dari bayangannya di
kaca spion depan. Dia, pelangi pagiku, yang hanya sanggup kucintai diam-diam.
Aulia Angesti
Bandung, August 19th, 2013. 00:00